02/03/14

Cermin

Senja yang dingin di sebuah perkampungan dipinggiran kota Magelang. Aroma hujan sudah terhapus sejak beberapa menit  yang lalu tetap tak berhasil mengusir hawa dingin di sekitarnya. Perempuan itu masih tengah asyik dengan laptopnya. Hari itu dia sedang membuat sebuah cerpen yang akan dia kirimkan ke perlombaan di sebuah majalah. Dan uang hasil lomba itu, jika dia menang nanti, akan dia gunakan untuk pergi ke sebuah tempat. Tak ada ekspresi di wajah sendunya. Sesekali dia berhenti mengetik untuk meminum teh hangat buatan ibunya, kemudian mengelus dengan lembut perutnya yang akan memasuki usia kandungan satu bulan. Dia bersandar pada kursi nya sebentar. Kemudian mendongak ke atas dan memejamkan matanya. Hatinya sakit.


***

"Ini peringatan terakhirku. Waktumu sudah tidak banyak. Akan semakin sulit jika kau menunda ini. Segera gugurkan kandunganmu atau dia akan bertambah kebal. Aku gak mau hidupku hancur gara gara bertanggungjawab atas anak dalam kandunganmu."

Sebuah pesan singkat pagi itu bak mimpi buruk kesekian kalinya yang membangunkan tidurnya akhir akhir ini. Dia tetap bungkam dan tak menunjukkan ekspresi apa apa. Hatinya sudah terlalu sering bergeming. Terlalu sering menahan sakit. Dia memutuskan untuk men-delete pesan itu dan kemudian melanjutkan istirahatnya. Tapi dia tidak tega. Dia urungkan niatnya itu dan segera membalas. Dan kemudian dia melanjutkan tidurnya untuk beberapa menit saja.


***

Ruangan itu tampak begitu acak acakan tak terurus. Buku panduan tentang kehamilan, cara menggugurkan kandungan, kertas kertas tulisannya, beberapa baju hangat, dan obat obatan terlihat di banyak sudut di kamar tidur sempitnya. Berkali kali ibunya berteriak menyuruhnya untuk membereskannya tapi lagi lagi perempuan itu bergeming. Mungkin baginya, tak ada gunanya dia berbicara sepatah katapun. Tak ada yang mengerti, tak ada yang bisa menolongnya. Pun ibunya sendiri. Tidak bisa. Dia keluar dari kamar mandi dengan mata yang sembab. Selalu seperti itu. Dia selalu menangis dibawah guyuran shower kamar mandinya. Banyak yang membuatnya menangis. Terutama laki laki itu. Laki laki yang tak mau bertanggungjawab dan malah mengancamnya. Itu yang membuatnya harus meminum beberapa obat agar perempuan itu tenang kala dia tak bisa memejamkan matanya saat kantuknya menyerang. Pun kala ketika hatinya sangat sakit. Dia memilih pakaian hangat terusan dan mengenakan jaket serta syal kesukaannya. Kemudian dia menuju ke meja riasnya. Dia menatap dirinya. Dia tersenyum. Dia tersenyum untuk pertama kalinya setelah kejadian ini. Dia memoles wajah sendunya dengan sedikit bedak. Melukis alis matanya dengan warna gelap. Kemudian memoles bibirnya dengan lipstik warna merah darah. Hari ini dia tak mengenakan jilbabnya.

"Sempurna"

Perempuan itu bergumam lirih. Kemudian dia keluar kamar. Dia mencari ibunya. Dia menemukan ibunya tengah asyik melanjutkan merajut sweater kecil berwarna hijau, untuk calon cucunya. Perempuan itu bersujud pada ibunya. Mencium kakinya untuk beberapa menit. Dia bernafas berat. Dadanya lebih sakit daripada ketika dia mengingat laki laki itu. Dia butuh obatnya. Namun obatnya sengaja dia tinggal didalam kamarnya. Dia berusaha untuk tidak terlalu banyak menangis. Ibunya menatapnya dengan tatapan sangat heran.

"Kamu ini kenapa? Tumben tumbenan kayak gini? Mau kemana?" Tanya sang ibu sambil mengangkat tubuh putri sulungnya untuk berdiri. Perempuan itu diam dan hanya tersenyum. Dia mengusap air matanya yang meleleh sedikit di ujung matanya kemudian dia menarik nafas dalam dalam.

"Maafkan Aya bu. Ampuni Aya ya bu..." Perempuan itu memeluk ibunya erat. Dia tak bisa menceritakan pada ibunya dia kenapa dan mau kemana. Setelah sedikit tenang dia pamit pada ibunya. Mencium tangan ibunya selama mungkin.


***


Sebuah rumah yang terletak di dalam gang sempit itu berdiri dengan angkuh, tujuan langkah kakinya petang itu. Dia teringat setahun yang lalu, saat kakinya pertama kalinya menginjak rumah itu. Dia memandang rumah itu tanpa ekspresi. Keadaan rumah itu sepi. Tak lama kemudian dari kejauhan dia melihat sesosok perempuan tua kembali dari musholla dekat gang itu. Dia tersenyum pada perempuan itu. Perempuan itu membalas senyumannya. Sesaat ketika perempuan tua itu hendak menyalaminya, dia mengeluarkan pisau yang dia sembunyikan dari balik jaketnya dan menancapkannya tepat di ginjal perempuan itu. Tak sempat perempuan tua itu menyapa, dia sudah terbelalak dengan darah membasahi mukennahnya. Kemudian ambruk. Perempuan itu tersenyum sejurus kemudian membuang pisaunya. Dia melangkah maju dan mengetuk pintu rumah angkuh itu. Tangan kananya menyembunyikan pistol.

"Kau?!" Laki laki tua itu sedikit terkejut. Dia berusaha menutup pintunya kembali namun tangan perempuan itu lebih gesit.

Dorr Dorr ..

Dua kali tembakan itu tepat menembus jantung laki laki tua itu. Dia mati tanpa berkata apa apa lagi. Perempuan itu tersenyum. Dia sudah tak takut lagi. Dia melangkahi mayat laki laki itu sambil berbisik lirih. "Aku datang ke rumahmu lagi. Kau salah. Kau tak bisa membunuhku ketika aku datang." Dari belakang rumah kemudian muncul lah sosok laki laki.dengan tergopoh gopoh.

"Aya? Apa yang kau lakukan pada orangtuaku?"

Tanpa berkata apapun, perempuan itu mengacungkan senjatanya. Dia berjalan mendekati laki laki itu sambil mengelus perutnya.

"Aku datang bersama anakmu. Kau tak ingin menyapanya terlebih dahulu? Maaf harus dalam keadaan seperti ini. Tapi ini sudah benar kan?"

"Turunkan senjatamu, kita bisa bicara baik baik".

Laki laki itu mundur. Dia terlihat takut. Perempuan itu tersenyum lebar kala melihat laki laki itu ketakutan. Dia tetap mengacungkan senjatanya. Dia tak menurut pada laki laki yang ada dihadapannya. Tanpa berkata apa apa dia melepaskan 1 tembakan lagi. Laki laki itu melotot kearahnya. Dia memegang dada kanannya. Sesaat kemudian dia ambruk. Mati. Perempuan itu duduk lemas disamping jasad laki laki itu. Laki laki kejam yang sangat dia cintai. Dia memeluk jasad itu tak peduli darah yang mengalir disekitarnya. Dia menangis. Dia mengusap perutnya sambil tetap memeluk erat laki lakinya. Dia bangkit. Mengusap dada laki lakinya. Dia rindu melakukan hal itu. Kemudian dia mencium kening laki laki itu. Mencium pipinya. Juga yang terakhir mencium bibirnya. Lama sekali. Dia tetap tak bisa berhenti menangis. Kemudian dia mengambil kembali pistolnya. Kembali memeluk laki laki itu dengan rapat. Kemudian dia menembak mati dirinya sendiri tepat disamping mayat laki laki itu. Rumah angkuh itu kini menjadi lautan darah.


***

Fade To Black :

"Mau kau apa kan pistol itu? Itu bukan pistol mainan." suara itu mengejutkan Aya ketika dia melihat benda benda koleksi di lemari teman nya, Aman siang itu. Kemudian Aman mendekatinya dan ikut berjongkok disebelah Aya. Dia mengambil pistolnya dari tangan Aya dan menaruh kembali ke lemarinya. Namun tangan Aya mencengkeram pergelangan tangannya.

"Bisakah aku meminjamnya? Akhir akhir ini aku sering di teror oleh orang ketika aku berjalan sendirian. Terlebih ketika pulang kerja. Aku mohon.. Tolong bantu aku.." Aya berbohong sambil berusaha mengambil pistolnya kembali.  Aman melepaskannya. Dia tak bisa berkata apa apa. Dia mencoba percaya pada Aya. Aya tersenyum. Ada sedikit embun di sudut matanya. Namun dengan segera dia singkirkan.

"Kau teman yang baik. Aku sangat berterima kasih atas segala kebaikanmu. Tak terkecuali usahamu untuk membujuk dia agar mau bertanggungjawab mengenai anaknya yang ada dalam perutku. Tapi begitulah dia. Tapi terima kasih banyak.. Aku tak akan melupakan segala kebaikanmu"

"Aku kasihan padamu. Seharusnya, kau tak mengenal laki laki itu. Aku menyesal karena kau pernah mengenal dia. Kalau kau butuh bantuan, kau katakan saja padaku"

"Tidak ada. Aku bisa mengurusnya sendiri. Aku pamit.."

Setelah itu Aya melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Dengan pisau dan pistol terselip di saku dalam jaketnya dia meninggalkan Aman yang terduduk lemas dibelakang. Dia terus berjalan dengan keyakinannya. Dia tak berniat menoleh kebelakang. Dia tak akan pernah kembali pulang.

08/12/13

Surga

Pyar..!!
Sekali lagi kaca jendela itu pecah terkena lemparan batu di subuh yang sama. Seisi rumah pun segera berlari melihat keadaan diluar. Aku segera menyusul sambil masih menggunakan mukenah karena baru selesai melaksanakan sholat subuh.
"Ini masih jam empat pagi. Beruntung tak mengenai keningmu lagi nduk.." aku mendengar ibu bergumam pelan. Sembari membersihkan pecahan kaca, aku membantu sebisaku.

"Maafkan Luna, bu," aku berusaha tak menangis. Namun tetesan air mataku tetap saja masih terlihat di mata ibu.
"Sudah cah ayu, jangan dipikirkan. Nanti bayi dalam kandunganmu ikutan sedih. Jaga kandunganmu ya nduk?" kata ibu sambil membelai tanganku. Hangat sekali. Aku menangis dalam dekapannya.

***

Setiap hari aku menghabiskan waktuku berdiam diri dirumah. Aku terlalu takut menghadapi dunia luar yang seolah mereka semua tak pernah kehabisan bahan ejekan yang selalu mereka lontarkan pada diriku. Seringkali aku masih bisa mendengar perkataan mereka dari dalam kamarku, bahwa aku, pezinah, tak pantas ada di sini. Aku hanya membawa kesialan. Dan aku mengandung anak haram. Ingin rasanya aku keluar dan mengatakan pada mereka sekeras mungkin bahwa mereka semua salah. Mereka tak tahu apa apa tentang aku, dan bayi dalam kandunganku ini. Dan pada akhirnya, aku selalu teringat pada laki laki itu. Laki laki yang dulunya selalu berkata bahwa dia tak akan meninggalkanku apapun yang terjadi. Yang selalu berkata bahwa dia sangat mencintaiku dan akan melakukan segalanya buatku. Tapi sekarang semuanya sudah tak ada artinya lagi. Dia pergi. Tanpa mau tahu keadaanku, juga anaknya yang ada dalam kandunganku. 


***

"Halo.." aku mengangkat telepon dengan suara sesenggukan. Mengatur nafas sambil berpura pura seolah olah tak terjadi apa apa. Tapi ternyata gagal.
"Sudah aku duga. Ada apa disana?" suara Gian dari seberang membuatku melemah. Tebakannya selalu benar. Ingin rasanya aku bersandar padanya. Menceritakan semua agar terasa sedikit lebih ringan.
"Tidak ada apa apa. Aku, hanya, sedikit rindu padamu. Kau kapan pulang?" jawabku bohong. Namun aku benar merindukan dia.
"Sebentar lagi, luna. Kau masih mau menungguku kan? Begitu urusanku disini selesai, orang pertama yang akan aku temui adalah kau. Setelah itu.." Gian menggantungkan kata katanya. Dia tak berbicara lagi. Kami berdua diam.
"Setelah itu aku akan melamarmu. Dan kita bisa hidup bahagia bertiga. Kau, aku, juga anak kita. Kau ingin tinggal dimana? Di jember? Di tempatku, kupang, atau di belanda?" kata Gian bersungguh sungguh. Aku yang mendengar hal itu merasa lega. Aku tersenyum haru. tapi Gian tidak akan tahu.
"Aku hanya ingin tinggal bersamamu. Tak peduli dimanapun tempatnya."
Kami berdua diam lagi. Agak lama. Saling berbicara pada pikiran masing masing.
"Aku akan segera pulang, Luna.."
telepon terputus. Aku masih diam didepan meja riasku. Ada sedikit haru diantara pembicaraan singkatku dengan Gian tadi. Namun aku tak boleh sedih.
"Kau punya ayah, nak. Dia orang baik. Bersabarlah." Aku mengelus perutku yang mulai membesar yang memasuki usia kandungan 9 bulan. Kemudian aku segera bangkit dan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Ada yang akan aku ceritakan pada Tuhan tentang Gian.
*** 

"Ketika kau membuka mata untuk pertama kali di pagi ini, wajah pertama yang kau lihat adalah aku. Aku akan ada dihadapanmu saat itu juga. Dan seterusnya, aku adalah wajah pertama yang slalu ada dipagi harimu, saat kau membuka mata."
***

Hangat. Ada yang membelai lembut kepalaku. Tapi ini bukan tangan ibu. Lalu tangan siapa?. Apakah Gian sudah disini?. Aku takut untuk membuka mata. Aku takut kalau bukan Gian yang aku lihat. Aku benar benar menginginkan dia disini. 
 "Luna, aku sudah datang.."
 
Suara itu suara Gian. Aku membuka mata. Dia ada dihadapanku. Aku bangun. Memeluknya dengan haru. Aku memandang kearahnya. 7 bulan tidak bertemu dia sudah banyak yang berubah. Ada banyak gurat kelelahan di wajahnya. Namun senyumnya tetap sama. Senyuman yang hangat. Alisnya tetap sama. Alis hitam yang tebal. Dan rambutnya sedikit lebih panjang. Aku tersenyum lega melihatnya. Aku memeluknya lagi. Dia tertawa kecil.
"Kau benar benar rindu padaku ya, aku sampai tak bisa bernafas karena kau memelukku terlalu erat. Bagaimana kabar si kecil?" Tanya Gian sambil melepaskan pelukanku. Dia mengelus perutku yang terlihat sudah sangat besar.
"Dia tetap baik didalam sana, Gian. Dia juga sangat rindu padamu." aku ingin menangis namun tangan Gian sudah terlebih dulu mengusap mataku. Matanya berbicara seolah aku sudah tak boleh menangis lagi.

"Gian, aku, aku malu padamu. Kau bahkan tak mengenalku sejak lama, tapi kau, kau seolah tahu apa yang aku butuhkan untuk masa depanku. Kau bisa langsung menerima aku, sekaligus anak dalam kandunganku. Aku malu padamu, Gian.." aku tundukkan kepalaku sedalam mungkin. Aku benar benar malu pada laki laki sebaik dia.

"Aku tak pernah menanggapmu rendah, Luna. Kau adalah, surga." Gian mengangkat wajahku. Tangannya mengusap lembut pada ujung mataku yang mulai berair. Aku menatapnya heran.

"Aku? Surga?"

"Iya. Surga. Karena bersamamu aku merasa tenang. Aku merasa hidupku berguna. dan juga aku mendapatkan satu malaikat kecil yang sebentar lagi akan lahir. Aku bersyukur Luna karena aku dipertemukan oleh perempuan sepertimu karena tak banyak wanita yang mau menerima aku dengan keadaanku yang seperti ini. Aku bersyukur.."

Tangannya menggenggam tanganku erat. Dia memandangku dengan tatapan teduh. Setelah itu dia mengambil sesuatu di dalam tasnya. Sebuah kotak kecil berwarna putih perak.

"Kau mengalami hidup yang berat saat aku tak disampingmu Luna. Kau berhasil bertahan. Aku berjanji tak akan meninggalkanmu lagi. Harusnya aku sudah melakukan ini sejak awal. Aku minta maaf Luna sudah membuatmu menghadapi semua ini sendirian. Ini belum terlambat kan? Luna, maukah kau menikah denganku?"


30/11/13

Masa Depan

Masa Depan? Seperti apa? Yang istimewa ya .. Rencana Tahun depan, dan tahun tahun yang akan datang .. Okeh, Mungkin bisa diingat disini.

Tak bisa kuliah bukan berarti hilang cita citanya. Masih harus hidup untuk orang lain, lebih tepatnya untuk keluarga, itu lebih penting. Ya ya, sedikit demi sedikit sudah bisa memberi kebahagiaan. Mulai dari membenahi rumah, Sekolah adik, kebutuhan orang tua. Ya meskipun masih banyak kekurangan toh juga masih ada waktu buat memperbaikinya. Lama kelamaan semuanya terasa ringan. Tak seperti dulu lagi yang serasa berat karena menanggung sendirian ..

Masa depan itu, hanya ingin sukses. Manusia sukses :D. Lihat adik sekolah udah tamat sampai sama denganku, atau lebih tinggi lagi misal (Amin). Dan perempuan itu masih bisa bernafas dan berada disampingku saat kata "Masa depan" itu sudah berhasil ku raih. Kau tahu, terkadang berkata "Aku tak membutuhkan dia" itu adalah kebohongan terkejam yang pernah kau katakan pada dirimu sendiri. Aku mengalaminya sendiri. Dan semoga kata itu tak akan pernah terucap lagi.

Aku juga ingin bertemu dia. Kau tahu kan? Kalau tak mungkin bisa hidup dengan lengkap karena keberadaanya, setidaknya bisa bertemu dengannya. Banyak hal yang ingin aku tanyakan padanya. Tentang semuanya. Alasannya kenapa melakukan ini semua, siapa yang benar, dan memintanya datang ketika Hari Bahagia seumur hidupku itu datang.

Masa depan itu, ya ituu. :D Kau tahu maksudnya kan? Berandai andai dikit lah. Dan harus bisa diwujudkan tentunya. :D
Aku ingin pergi ke beberapa tempat ini, Jakarta, Brazil, Finland, dan jepang. (Waahhh XD)
Punya rumah sendiri yg terbuat dari kayu. Kayak di film2 gtu. Kayaknya bagus deh. Ada tamannya. Pokoknya "Hijau". Nggak usah besar2 ah. Sederhana, namun Ijonya Keliatan :D
Tinggal bersama keluarga kecil, 1 suami, 3 orang anak. Yang pertama harus cowok. *Maksa dikit* XD Soalnya sebagai kakak nya. Yang kedua cewek aja :) Yang ketiga, umm.. Boleh deh cowok lagi :D.

Kalau untuk laki laki idaman, Seperti apa yah? Mungkin seperti Namikaze Minato :v XD Ya setidaknya seperti itu, Yang tulus menyayangi Wanitanya, juga bersedia mengorbankan apapun untuk orang lain. Tulus menerima kekurangan.. Nggak usah mikir gantengnya. Relatif aja. Yg penting *ini*nya (Hati dn tulusnya). Syukur syukur dapat bonus tampan dan mapan XD Hihihihi..

Mungkin akan sulit karena keadaan sekarang berbeda. Karena itu, berusaha tak terlalu memikirkan Masa Depan yang itu. Biarkan dia datang sendiri.. :) Dan jika dia sudah datang, Kebahagiaan itu pun dimulai dari detik itu :)

Sudah ah, Sampai sini aja. 

Ini masa depanku. Tujuan Hidupku. Karena aku disini, bukan hal yang sia sia. Aku tahu itu :)

https://www.facebook.com/notes/kunthy-yulia-wardani/masa-depan/2613692199509

15/11/13

Jangan bertanya lagi...

Laki laki itu berjalan perlahan memasuki rumahnya sendiri seperti maling yang hendak mencuri. Pakaiannya sedikit basah karena hujan. Tangan kanannya memegang payung, dan tangan kirinya memegang senter. Malam itu dia tak bisa tidur, dia memutuskan untuk mengecek perkebunannya. Setelah yakin tidak ada masalah apapun, dia kembali pulang dengan perasaan lega. "Ahh, harusnya aku bisa minta tolong Sandy saja untuk mengecek perkebunan. Dan aku sudah sampai di alam mimpi. Cuaca seperti ini sebaiknya tidur." batinnya dalam hati setelah menaruh kembali payungnya.

"Bapak dari perkebunan lagi? Malam malam begini?" Suara putra semata wayangnya mengagetkannya. Terlihat sosok putranya berdiri sambil menyalakan lampu ruang tengah. Laki laki yang dia panggil 'bapak' itu menoleh dan mengibaskan bajunya yang basah.

"Umm, iya, bapak dari sana. Entah kenapa bapak kepikiran soal tanaman tanaman itu. Kau belum tidur san?" Laki laki itu kembali bertanya. Tak ada jawaban. Anak laki laki yang bernama sandy itu hanya menatap ayahnya dengan tatapan tajam. Kemudian melepas kacamatanya sambil berlalu.

"Aku akan tidur lagi. Selamat malam"

Laki laki itu bergumam "Dia tak bisa berubah.". Malam pun kembali menyelimuti keluarga kesepian itu. Hingga fajar itu datang, mereka tetaplah keluarga kesepian.
*** 
Kau tak pernah tahu hidup yang 'sempurna' itu seperti apa. Tapi aku rasa hidup sempurna adalah disaat orangtua kalian lengkap. Ada orangtua perempuan yang kau panggil Ibu, juga orangtua laki laki yang kau panggil Ayah. Atau kalau disini mereka semua memanggilnya 'Bapak'. Aku memang sempurna. Terlahir tanpa cacat fisik apapun. Kekayaan yang tak pernah ada habisnya dari orangtua laki laki ku. Juga kemampuan otak yang lebih. Tapi sejak kecil aku tak pernah tahu seperti apa ibu itu. Satu satunya orangtuaku, bapak, dialah yang ada sejak aku kecil. Terkadang itu membuatku sedikit membencinya. Bagaimana bisa dia membiarkan putranya tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu? Selama ini apa yang ia lakukan? Hanya mengurus kehidupan dunianya. Otakku selalu berpikiran seperti itu. Namun seiring berjalannya waktu, aku menjadi mengerti satu hal. Bahwa dia juga tak menginginkan seperti itu.

*** 
"Sedang apa kau sekarang ra?" Sandy menyapa teman masa kecilnya yang bernama Tiara melalui skype. Sesekali membalik buku yang dia baca. Dia selalu melakukan hal itu setiap kali sebelum tidur. Menyalakan laptop, memasang modem, kemudian menyapa Tiara.

"Cuaca disini sedang dingin sekali san. Aku baru saja membuat teh. Kau mau?" Canda Tiara sambil duduk didepan laptopnya. Sesekali meniup kearah cangkir tehnya yang panas.

"Tidak usah." Jawab Sandy singkat. Membaca bukunya kemudian menatap Tiara melalui kamera laptopnya. "Kau berbeda sekali saat pertama kali kita bertemu. Benar benar berbeda"

"Kau kenapa lagi? Ribut dengan bapak? Kau ini tak pernah sadar ya san. Bapakmu itu sudah tua. Harusnya egomu kau tekan." Kata Tiara sambil menaruh cangkir tehnya. Kemudian duduk manis didepan laptopnya sambil membenarkan letak kalungnya. Kalung Rosarionya.

"Dia benar - benar berubah" batin Sandy setelah melihat Rosario itu.

"Pandangannya selalu tidak suka melihat aku memakai ini." seolah tahu apa yang Sandy katakan, Tiara menyelipkan kembali kalungnya.

"Aku rindu kamu yang dulu ra." kata Sandy sambil setengah menunduk. Memainkan jari jemarinya seperti anak kecil sambil teringat masa lalunya bersama Tiara. Sebelum Tiara memutuskan menjadi Nasrani.

Tiara menatap lurus kearah Sandy melalui layar laptopnya. Dadanya sesak. Dia tak bisa menjawab.

"Kenapa kau masih saja membedakan aku San? Bukankah aku sama sepertimu? Aku juga manusia. Bukankah dalam agamamu, yang membedakan hanya tingkat keimanannya saja?" jawab Tiara sambil memelankan suaranya. Takut takut kalau Sandy tersinggung. "Tuhan, tolong buat laki laki ini mengerti" Tiara bergumam lirih.

"Aku tak pernah jatuh cinta kepada wanita selain kamu Ra. Perasaan itu tak pernah berubah meskipun sekarang kau tak lagi memakai jilbab itu. Dan aku ..." Sandy tak lagi meneruskan kata-katanya. Membiarkan itu terputus ditengah jalan. Antara Magelang dan Belanda.

"Aku menyesal mengajarimu banyak hal Ra..."

Mendengar itu Tiara kaget. Namun kemudian dia tersenyum. Tapi tetap tak menjawab. Dia melihat kearah Sandy dan sekelilingnya. Laki laki itu memakai baju muslim masih dengan sarungnya. Terlihat dibelakangnya masih terpampang sajadah dan Al-qur'an yang masih terbuka. Dia teringat ketika mereka berdua berdebat soal agama dan Tuhan. Menurut Tiara agama yang dianut Sandy adalah agama yang paling jahat. Tuhan dalam agama Sandy sangatlah kekanak-kanakan. Dan ketika Sandy tahu apa yang Tiara pikirkan, Sandy pun menjelaskan banyak hal agar Tiara sadar. Namun Tiara tak bisa ditahan.

"Kenapa kau tak bisa menerima ku yang seperi ini San?"

"Karena aku tak mungkin memilih calon istri dan calon ibu dari anak anak ku adalah bukan dari golonganku!" Sandy mengeraskan suaranya. Tiara kaget. "Dia.. Berkata seperti itu?" Tiara diam. Memandang lurus kearah Sandy. Mata mereka bertemu pandang.

"Lantas jika aku bukan dari golonganmu itu artinya aku tak bisa menjadi seorang istri dan ibu yang baik bagi anaknya? Pikiranmu picik sekali. Kau pikir dalam agamaku juga tak diajarkan bagaimana 'memanusiakan-manusia' secara benar? Kenapa kau selalu berfikir agamamu saja yang paling benar?" Tiara berhenti sebentar mencoba menahan air matanya.

"jangan menangis disini"

"Lalu kenapa kau tak memilih wanita lain yang segolongan denganmu saja san?" Tiara memelankan suaranya. Ada sedikit lelehan air mata disudut matanya.

***
Sore itu  di sebuah perkebunan kelapa sawit terlihat sosok laki laki dan anak laki lakinya yang baru genap berusia 10 tahun sedang menghitung berapa banyak hasil panennya bulan ini. Anak laki laki itu adalah Sandy semasa kecil. Wajahnya begitu mirip dengan Ayahnya.

"Sandy selalu saja diejek teman teman sekolah karena Sandy tak punya Ibu pak" kata sandy waktu itu sambil meluruskan kakinya. Duduk disebelah keranjang kelapa itu sambil sesekali mendongak kearah. Wajahnya murung. Laki laki yang dia panggil bapak itu tidak menyahut. Dia sibuk dengan buku yang ada ditangannya sambil mulutnya komat kamit menghitung angka angka yang tertulis dibuku tersebut.

"Paakk.." Sandy kecil menarik narik celana bapaknya. Memaksa bapaknya untuk duduk disampingnya. Dan menjawab pertanyaannya. Laki laki itupun tersenyum. Kemudian mengambil tempat untuk duduk disebelah putra semata wayangnya. Sambil mengelus rambut ikal putranya.

"Kamu itu punya Ibu, san. Ndak usah didengerin teman temanmu itu. Mereka itu iri karena Sandy selalu juara dikelas. Ibumu itu cantik sekali. Selalu menutup tubuhnya. Rambutnya selalu ditutupi pake jilbab. Masakannya juga enak. Tapi sekarang Ibumu sudah punya rumah yang lain, ndak disini lagi. Ndak sama kita lagi. Nanti kalo bapak tahu alamatnya, bapak pasti ajak kamu kesana. Sabar ya san" kata Laki laki itu sambil matanya menatap lurus kearah perkebunanya. Dadanya sedikit sakit jika harus menceritakan itu. Tapi Putra nya harus tahu. Dia tak bisa terus terusan menyembunyikannya.

"Oh ya san, sini bapak mau kasih tahu satu hal" Kata laki laki itu sambil mengangkat Sandy dan menaruhnya ke pangkuannya. Sandy kecil sudah tidak sedih lagi. Dia menyandarkan kepalanya di dada bapaknya.

"Besok, kalau Sandy sudah besar, sudah dewasa, Sandy harus cari istri yang seperti ibu ya? Yang cantik. Yang lemah lembut. Yang pintar. Yang pakai jilbab. Biar Sandy tahu rasanya punya ibu itu seperti apa. Janji sama bapak ya san?"

Sandy kecil mengangguk mantab. Mencoba menaruh nasihat bapaknya di otak yang paling dalam agar dia tidak lupa. Agar dia tetap ingat sampai dia dewasa nanti.

"Yang cantik, yang lemah lembut, yang pintar .. Dan yang berjilbab"
***  

Awal tahun ini seharusnya aku menunggu kepulangannya di bandara. Sudah 3 tahun aku tak bertemu dengannya. Tapi sekarang aku malah berada dibalik selimut dengan pikiran yang tak tentu. Aku menyesal mengakhiri semuanya tanpa bertatap muka denganya dahulu.

"Aku akan menikah, Ra" kata Sandy dikala senja itu. Tiara yang mendengar hal itu, hanya berusaha tersenyum tipis. "akhirnya aku berhasil mengatakannya." batin Sandy dalam hati.

"Setelah semua yang kita lakukan, kau benar benar ingin mengakhirinya begitu saja San? Tapi mungkin itu yang terbaik. Kau sudah menemukan wanita yang mirip ibumu. Aku senang mendengarnya."
"Aku akan datang, San" Tiara mengakhiri pembicaraanya. Dia memencet tombol close pada aplikasi Skypenya kemudian mematikan laptopnya. Dia menangis. Namun menyembunyikan tangisnya dibalik tangannya. Perih.

04/07/13

Eyes (Empat;End)

"Aku benci disini.. Aku benci semuanya.. Siapa Ari? Siapa Riki? Aku tak pernah mengenal mereka" Liv berbisik sendiri. Merapatkan tubuhnya ke tembok, menutup telinganya rapat rapat. Mencoba menenangkan dirinya sendiri. Semua kenangannya dengan dua orang itu menari nari dalam ingatannya. Dia tak bisa langsung saja menerima kenyataan pahit dua minggu yang lalu. Peristiwa di gereja sore itu dan setelahnya membuat dia kacau melebihi ketika dia ditinggal pergi oleh Riki. Dari kejauhan terlihat sosok wanita yang mulai memasuki usia senja menatapnya dengan lelehan air mata yang tak pernah bisa ia sembunyikan ketika melihat keadaan putrinya.
"Bapa yang pengasih, bisakah putriku sembuh? Aku tak tega melihatnya terus terusan  seperti itu.." Wanita itu merapatkan jemarinya. Berdoa. Doa yang sama. Dia ingin putrinya sembuh seperti dulu. Kembali menjadi gadis ceria kebanggaannya. Namun kenyataannya tak seperti itu.
"AKU BENCI KALIAAANNN !!!!!" Liv berteriak Histeris. Membenturkan kepalanya ke tembok. Sang ibu yang sedari tadi berada dibalik pintu pun berlari menuju kearahnya. Berusaha memeluknya meskipun tangan tangan lemah Liv meronta.  "Bapa yang pengasih, kami mengimani Engkau menemani setiap langkah kami, seperti Kau memberikan Putra Mu untuk menebus dosa kami, saat ini Bapa, kami mengimani juga pemeliharaan Mu untuk putriku, Olivia disetiap langkah hidupnya. Terima kasih Bapa, hanya di dalam nama Mu, puji syukur kami panjatkan. Amin" Sambil memeluk putrinya erat erat, sang ibu tak berhentinya memanjatkan Doa. Air matanya semakin deras mengalir sembari mengusap wajah putrinya. Mencoba mengikhlaskan takdirnya.
***
"Allah, Bapa yang maha murah. Kami bersyukur kepada-Mu karena Engkau telah menguatkan kami melalui kehadiran-Mu dalam ibadat ini.
Kami bersyukur kepada-Mu karena Engkau telah membagikan kelimpahan cinta kasih-Mu kepada kami. Kami bersyukur, karena persekutuan cinta kasih ini.
Semoga hidup kami dipenuhi rasa syukur baik dalam suka maupun dalam duka. Semoga persekutuan kami dengan Yesus dalam ibadat ini menguatkan iman kami sehingga kami mampu menjadi saksi-saksi-Mu di tengah-tengah masyarakat.
Bapa, kami mohon rahmat-Mu bagi mereka yang tidak bisa hadir dalam ibadat pada hari ini. Semoga mereka semua tetap dalam naungan kasih-Mu. Sebab Engkaulah yang hidup dan berkuasa bersama Putra dalam persekutuan Roh Kudus, kini dan sepanjang masa. (Amin..)"
Riki masih tak beranjak dari gereja. Malam itu perasaannya tidak tenang. Dia menghawatirkan Liv yang jauh disana, namun dia tak bisa apa apa. Dia masih harus tinggal disini untuk beberapa waktu lagi. "Liv, kau baik disana? Aku sangat menghawatirkanmu"
***
Malang, 27 Januari 2011, langkah tegap laki laki itu terdengar dari kejauhan diantara  serbuan hujan lebat sore itu. Meski sedikit merasakan pijakannya melemah, meski terkadang dia terseok seok, tak menghentikan langkahnya sekali saja walau untuk mengambil nafas.
"Tidak, kenapa kau ambil dia begitu cepat Tuhan? Kenapa kau tak menjaganya ketika aku tak ada disampingnya hanya untuk sementara waktu?" dada laki laki itu terasa bergetar. Ada rasa sakit diantara getarannya. Ada beberapa buliran air mata yang jatuh diantara air hujan yang membasahi wajah tegasnya. Dia melupakan satu hal bahwa sebagai laki laki menangis adalah sebuah pantangan. Dia tak peduli. Semakin mendekat dengan apa yang dia tuju, semakin melemah pula langkah kakinya. Sebuah pemakaman umum yang lengang. Pandangannya mencari sesuatu. Ketemu. Sebuah makam yang masih baru. Masih banyak bunga diatasnya. Dengan nisan dari marmer hitam dan bertuliskan nama "Olivia Audrey" diatasnya.

01/09/12

Eyes (Tiga)

Satu minggu telah berlalu. Sinar matahari kota Malang siang itu masih belum bisa menghangatkan Liv yang terduduk lemas di pinggiran jendela kamar tidurnya. Matanya menerawang lurus kedepan menembus pemandangan sekitarnya. Mata yang kosong. Sunyi. Hanya bisikan otaknya yang tengah berperang dengan batinnya. Teringat perkataan sang dokter yang memvonis matanya sudah benar benar parah. Dia belum bisa menerima itu.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Semuanya sudah selesai. Hancur." batin Liv dalam hati. Dia ingin menangis agar dadanya yang sedari tadi sesak bisa sedikit ringan. Tapi akan lebih parah lagi jika dia menangis. Dia pun memutuskan untuk menahan semuanya. Tiba tiba nada dering handphonenya berbunyi. Tangannya pun meraba raba mencari dimana dia meninggalkan handphonenya.
"Liv, Kau baik baik saja?" suara berat Riki dari seberang sana membuat Liv menjauhkan sedikit handphonenya, namun dia tersenyum simpul dan berkata dalam hati "Riki, ternyata dia menghawatirkan aku"
"Riki, aku baik - baik saja. Tenanglah. Kau terdengar sangat ketakutan seperti telah melihat hantu. Hahaha" jawab Liv sambil setengah bercanda untuk mencairkan suasana. Namun kesedihan hatinya belum bisa dia sembunyikan.
"Aku menghawatirkan dirimu. Aku dengar dari Hendrik teman kampusmu itu kau tidak bisa melihat sekarang setelah kecelakaan waktu itu. Hei, kau menyembunyikan semuanya.  Apa yang terjadi? Kecelakaan apa? Bagaimana bisa kau jadi tak bisa melihat sekarang? Dengar ya putri tidur, kau tak boleh seenaknya saja bermain rahasia rahasiaan seperti itu" omel Riki pada Liv. Liv yang mendengar hal itu menjadi terharu. Dia tertawa kecil, mencoba menghibur diri agar Riki tidak tahu seperti apa keadaanya sekarang. Hening. Tak ada yang mengomel lagi untuk beberapa saat.
"Aku hanya sedikit tidak bisa melihat Riki. Tak usah panik seperti itu. Oh iya, aku sudah membeli kaset Symfonia seperti yang kau suruh seminggu yang lalu. Akhirnya aku bisa .."
"Aku ingin bertemu denganmu Liv."  kata Riki secara tiba tiba tanpa membiarkan Liv melanjutkan pembicaraannya tadi. Tak ada jawaban langsung dari Liv. Dia menunduk sambil memainkan jari jari kecilnya. Masih tetap tak ada jawaban
"Aku .. Aku tak bisa Rik." jawab Liv sedih.
"Apa selamanya kau tak ingin aku tahu dimana kau tinggal Liv? Apa kau ingin aku mencari tahu sendiri? Kau ingin aku melakukan itu? Benarkah? Jangan diam saja Liv, jawab aku."
"Aku tak ingin menemuimu dengan keadaan seperti ini Riki. Aku tak bisa melihat. Aku buta! Kau puas sekarang??" Jawab Liv setengah teriak. Tangisnya pecah. Dari seberang sana terlihat Riki menunduk. Jauh dalam hatinya sebenarnya dia tak bermaksud melakukan hal seperti itu. Membuat gadis itu menangis. Dia sangat menyesal sehingga mereka terdiam beberapa saat lamanya. Tak ada yang memulai percakapan kembali. Yang terdengar kini hanyalah isak Liv sesenggukan.

"Aku minta maaf Liv. Maafkan aku. Tadinya aku tak ingin membuatmu menangis dan semakin parah. Sungguh." kata Riki sambil memelankan suaranya. Namun tidak ada jawaban.
"Kau boleh marah padaku Liv sekarang. Akan aku tutup teleponnya agar kau bisa menenangkan diri. Aku mohon maafkan aku."
tuut tuut tuut. Telepon terputus. Tangis Liv pun semakin menjadi. Dia tak peduli dengan keadaan matanya lagi. Yang dia lakukan kini menangis. Mengeluarkan semua yang menjadi beban dalam hatinya. Dia ingin marah pada Riki yang telah membuatnya menjadi menangis. Marah karena dia tidak mengerti bagaimana keadaanya sekarang. Di sisi lain, disebuah lapangan tembak yang terlihat sepi, Riki yang sedari tadi duduk melamun sehabis menelpon beranjak bangun. Mengangkat kepalanya. Kemudian berteriak keras. "Aaarrrrrgggghhhhhh... Bodoh!"
Hari itu dia tidak bermaksud membuat kejadiannya seperti ini. Hari itu dia hanya ingin berkata bahwa dia akan segera kembali ke Kalimantan untuk tugas selanjutnya. Dia hanya mempunyai sisa waktu 3 hari untuk berbicara dan menemui gadis itu. Namun kini dia pasrah. Terjadi perang didalam batinnya. Andai saja dia bisa sedikit berkata pelan waktu itu. Andai saja dia bisa mengerti bagaimana keadaan gadis itu. Andai saja dia tidak ceroboh. Dan hari yang panjang itu berakhir dengan sebuah penyesalan di hati mereka masing - masing.
***
Gelap. Tak bisa melihat. Hanya bisa mendengar saja. Ini sudah pagi ataukah siang? Atau bahkan ini masih tengah malam? Semuanya terlihat sama. Bahkan ketika dia membuka mata ataupun menutup mata, masih saja sama. Hanya gelap gelap dan gelap. Lelehan air matanya semakin membuat kegelapan itu sempurna. Entah sudah berapa lama dia menangis. Andai dia bisa melihat, dia akan melihat betapa buruknya wajahnya itu. Juga matanya yang semakin dia menangis maka akan semakin sembab juga matanya. Sang Ibu yang melihat dari balik pintu kamar hanya bisa terdiam lemas. Dalam hatinya dia menangis. "Mengapa harus anakku yang menderita, Tuhan? Mengapa bukan diriku saja yang sudah renta ini? Apa yang harus aku lakukan sekarang agar dia bisa kembali seperti dulu? Aku rindu anakku yang dulu.." sang Ibu yang tak tega melihat anaknya seperti itu akhirnya dia memutuskan untuk menjauh dulu dari kamarnya. Memikirkan kembali apa yang harus dia lakukan demi anaknya itu.
***
Suasana lapangan tembak tengah kota Malang sore itu terlihat sepi. Terlihat sosok Riki  dengan ekspresi wajah cemas yang sedang menunggu seseorang. Tak lama kemudian sosok yang dia tunggu muncul juga. Dia adalah Hendrik, teman 1 kelas di kampus Liv yang juga rekan 1 team futsal Riki ketika dia berada di Malang dan belum bergabung di pendidikan marinirnya.
"Sorry telat bro, cewek gue minta di antar ke salon dulu. Mohon maklum yah." kata Hendrik sambil bersalaman dengan Riki. Riki membalas salamannya dan kemudian menjawab dengan anggukan pelan, kemudian duduk di rumput rumput sambil menekuk kedua kakinya. Mereka saling diam. Memandang lurus kedepan kearah matahari yang akan tenggelam namun masih ingin memamerkan sinarnya yang indah berwarna jingga itu. Tak ada yang membuka percakapan.
"Jadi, bagaimana dia bisa seperti itu ndrik? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya riki dengan suara dipelankan. Tetap memandang lurus kedepan. Berusaha bertanya setenang mungkin karena dia tidak ingin kejadian di telepon waktu itu dengan Liv terulang lagi. Namun kecemasan hatinya tetap terlihat di mata cokelatnya.
"Gue nggak tahu pastinya bro. Setahu gue dia kecelakaan di Batu sama sahabat ceweknya. Dan sahabatnya itu meninggal saat perjalanan ke rumah sakit. Pernah sekali  waktu itu si Oliv ngeluh ke gue pas lagi kerja kelompok. Dia bilang tiba tiba matanya buram dan gak bisa ngelihat. Pas gue tanya kenapa bisa seperti itu, dia cuman jawab singkat, efek kecelakaan di daerah Batu aja. Itu yang bisa gue ceritain ke elu Bro" jawab Hendrik sambil menepuk pelan bahu Riki. Riki yang mendengar itu hanya bisa mengambil nafas berat. Berusaha menenangkan dirinya. "Oh Tuhan, kenapa harus dia?" batin Riki penuh sesal.
"2 hari lagi tugas gue disini selesai ndrik. Gue balik lagi ke Kalimantan. Dan kemarin itu adalah hal yang paling bodoh yang gue lakuin ke dia." Riki terus saja berceloteh panjang lebar pada Hendrik tanpa menoleh ke arahnya. Semalaman dia selalu dihantui rasa bersalah itu. Dan kini disampingnya ada seorang sahabat, dia memberanikan diri untuk mengeluarkan semua unek unek yang menghantui dirinya agar bisa sedikit tenang.
"Sekarang gue gak tahu harus ngelakuin apa. Rumahnya aja gue nggak tahu. Dia bilang dia nggak ingin ketemu gue gara- gara dia buta. Dan gue juga nggak bisa bayangin kalo dia tahu, gue bakal balik ke kalimantan lagi disaat gue ketemu sama dia dalam keadaan seperti itu. Jujur semalaman gue kepikiran hal ini Ndrik." Hendrik yang mendengar hal itu merasa iba. Dia hanya bisa mendengarkan keluh kesah laki laki tang berada di depannya itu. Dalam hatinya dia heran. Sosok yang dari luar terlihat tangguh seperti itu ternyata bisa menjadi lemah hanya karena 1 hal, wanita.
"Gue tanyain ke Linda aja bro dimana si Oliv tinggal. Si Linda kan ketua tingkat Nanti gue kasih kabar lagi secepatnya lewat sms, gimana bro?" jawab Hendrik sambil tersenyum.
"Oke, thanks banget ya bro. Gue nggak tahu kudu minta tolong siapa lagi disini selain elu. Cepat kabarin gue ya?" Matahari pun tenggelam dengan sempurna. Sebuah pemandangan yang indah. Seindah senyuman laki laki tangguh itu yang kini terlihat mulai bisa tenang namun tetap menggantungkan sebuah harapan.
***
Keesokan harinya, Hendrik pun segera menanyakan alamat rumah Liv pada ketua tingkat di kampusnya. Linda. Setelah mendapat alamat itu, dia kemudian mengirim sms pada Riki. Tanpa menunggu keesokan harinya, Riki segera mencari alamat tersebut, malam itu juga.
Jam 7 malam Riki sudah tiba di depan sebuah rumah sederhana Liv. Rumah bercat warna jingga favoritnya dengan banyak pot bunga menghiasi pekarangan rumah itu. Riki pun segera turun dari motornya dan mengetuk pintunya.
"Permisi, " tak ada sahutan. Tak lama kemudian pintu kayu itu dibuka oleh seorang anak kecil yang kira kira berusia 12 tahun.
"Siapa ya? jawab seseorang dari dalam rumah. Ketika pintu dibuka,  dan terlihat sosok laki laki seumuran kakaknya, dia langsung menjawab dengan tebakan anak kecil yang polos. 
"Apa mau mencari mbak oliv?" kata anak kecil itu yang tidak lain adalah adik tiri Liv. Sambil mengunyah permen karet dia mengamati Riki dari ujung kepala sampai ke ujung kaki dengan tatapan heran.
"Iya, mbak olivnya ada?" kata Riki sambil mengikuti gaya bicara anak kecil itu. Dalam hati dia merasa geli dengan kata "Mbak" yang terdengar asing ditelinganya. Juga karena sudah 2 orang yang memanggil Liv dengan panggilan Oliv, yaitu teman nya si Hendrik dan adik Liv sendiri.
"Mbak Oliv sakit. Dia nggak bisa melihat. Dikamar terus nggak mau keluar. Nggak mau makan. Nangis aja kerjaannya. Silahkan masuk. Ngomong sama ibu aja dulu" kata adik Liv sambil menggandeng Riki masuk dan mempersilahkannya duduk. Rumah Liv terlihat begitu sederhana. Hanya ada beberapa perabotan rumah yang memang dibutuhkan untuk hidup keluarga kecil itu. Tiba tiba pandangan Riki berhenti pada sebuah foto yang tergantung di tembok warna kuning itu. Foto Liv dengan seorang gadis berjilbab dan berlatar belakang sebuah pemandangan taman wisata yang terkenal di kota Batu Malang. Dibawah foto itu tertulis "Teman Selamanya". Terlihat mereka berdua tersenyum lepas tanpa beban. Senyum persahabatan.
"Mungkin gadis ini yang bernama Isna" batin Riki sambil tersenyum namun dengan tatapan sayu mengingat apa yang terjadi pada dua sahabat itu. Tak beberapa lama sosok ibu Liv keluar dan sedikit membuat dia terkejut.
"Dengan siapa ya ini?" kata ibu Liv sambil mengulurkan tangannya dan tersenyum hangat. Namun wajah itu tak mampu menyembunyikan kesedihannya.
"Saya Riki, temannya Liv. Bisa saya bertemu dengan Liv dan mengajak dia keluar sebentar? Saya sudah tahu bagaimana keadaanya dia sekarang, tante. Saya hanya ingin berbicara dengan dia. Tak akan lama. Saya janji." kata Riki sambil setengah memohon. Mendengar hal itu ibu Liv diam saja.  Tak ada jawaban. Dia memandangi Riki dengan tatapan sayu. Entah kenapa dia bisa mempercayakan anaknya pada orang yang berada didepannya itu padahal mereka baru saja bertemu.
"Temui Liv sendiri. Tante mengijinkan kok, nak Riki." kata sang ibu kemudian berdiri dan berjalan menuju kamar Liv dan Riki mengikutinya dari belakang.
Suasana kamar yang hangat. Dindingnya berwarna cokelat dengan tirai yang terbuat dari batu kerang kecil kecil dan berhiaskan banyak sekali foto tertempel didindingnya. mulai dari foto foto Liv sendiri, foto dia bersama teman temannya, juga foto band band idolanya Mata Riki pun menjelajahi kamar itu dengan kagum. Melangkah dengan perlahan dan kemudian menemukan sosok yang dia cari meringkuk disamping tempat tidur. Duduk dilantai dengan posisi kaki ditekuk. Rambutnya begitu acak acakan. Ada makanan disampingnya terlihat belum disentuh sama sekali. Handphone yang tergeletak dan sebuah buku yang terlihat seperti buku harian. Karna ingin memastikan lebih dekat, Riki pun maju satu langkah lagi namun kakinya tak sengaja menginjak sebuah pulpen dan membuat Liv terkejut.
"Siapa itu?" refleks berkata itu Liv memundurkan badannya merapat ke arah tembok. Dia berusaha mencari tahu siapa yang datang lewat pendengarannya.

"Liv, ini aku, Riki."
***
Sebuah taman tengah kota malam itu sedikit ramai. Penjual makanan, anak anak dan muda mudi yang sedang  menikmati suasana Malang pada malam hari menjadi latar belakang sosok 2 orang itu yang sedang duduk di bangku panjang menghadap jalan raya. Mereka saling menutup mulut. Hanya sesekali terdengar tarikan nafas berat mereka.
"Kau kedinginan? Apa mau aku pakaikan jaket ku ini?" kata Riki sambil melepas jaketnya kemudian memakaikannya pada Liv. Gadis itu masih diam saja.
"Riki.. Apakah malam ini banyak bintang di atas sana?" Liv pun mulai membuka mulut. Dia mendongak keatas. Tak ada yang berubah. Masih tetap gelap.
"Umm, tidak banyak. Hari ini sedikit mendung liv. Bulannya juga masih bersembunyi. Dia malu karena ada yang lebih cantik dari dia malam ini" jawab Riki sambil sedikit tersenyum. Dalam hati dia merasa senang karena akhirnya Liv pun berani membuka percakapan.
"Ingat tidak ketika kita melihat bintang bersama meski di tempat yg berbeda?" tanya Liv tiba tiba. Sebuah senyuman tersungging di bibir tipisnya. Manis sekali.
"Ingat donk. Waktu itu kamu marah sama aku gara gara aku salah lihat arahnya, hehehe" jawab Riki sambil tertawa. Suasana mencair dengan sempurna. "Terima kasih Tuhan" batinnya dalam hati. 
"Aku gak akan pernah lupa sama kejadian itu, putri tidur" lanjut riki. Kemudian mereka berdua terdiam sesaat. Membiarkan ingatan ingatan itu menjelajahi fikiran mereka, lagi.
"Dan juga, apa kau masih ingat ketika kita bertemu pertama kali? Jangan bilang kau lupa  bagian itu, kepala kentang" lanjut Liv lagi sambil sedikit manyun. Namun setelah itu dia tertawa kecil sehingga membuat Riki sangat bahagia.
"Hahaha, iya, aku masih ingat kok. Aku gak pernah berhenti mengamatimu, dan ketika kamu tahu aku mengamatimu, kau memukulku dengan manja, dan berkata, "Hentikan, aku malu" ya kan?" jawab Riki sambil tersenyum. Kenangan itu kini menguasai fikiran mereka dengan bebas. Kemudian Liv menunduk. Haru. 
"Iya Rik, aku ingat jelas peristiwa itu. Mmm, apakah sampai sekarang kau masih melakukan hal itu? maksudku, mengamatiku lagi?". Mendengar itu, Riki menoleh kearah Liv. Mengamatinya lagi. Tampak jelas perubahan gadis itu. Namun sinar matanya tetap tidak pernah berubah. Riki pun menjawab pelan pertanyaan Liv sambil mengusap pipi gadis itu.
"Aku tidak akan berhenti melakukan itu meskipun kau berkata Hentikan, Liv"
Ada haru ketika dia mendengar hal itu. Dadanya sesak. Ingin sekali dia bisa melihat bagaimana ekspresi laki laki itu ketika dia mengusap pipinya, untuk kedua kalinya. Namun sia sia. Riki yang mengetahui hal itu, mengusap pipinya sekali lagi. Mengusap sudut matanya sambil berbisik lirih "Jangan menangis putri tidur"
"Seperti apa dunia yang kini kau lihat sekarang Riki? Apa masih tetap seindah saat aku juga masih bisa melihat dulu? Ataukah semakin menjadi indah seolah menghina aku yang tidak bisa melihat seperti saat ini?" tanya Liv sambil menyandarkan kepalanya pada Riki. Semuanya berat. Untuk sekali saja dia ingin ada yang menopang beban itu. Dia ingin sedikit merasa ringan. Dia lelah.
"Dunia ini masih sangat indah, ketika orang terindah itu bahagia, tersenyum, ceria, dan tak pernah putus asa menghadapi takdirnya, Tapi adakalanya dunia ini menjadi buruk, menyedihkan. Yaitu ketika orang terindah itu bersedih, menangis, dan merasa bahwa dirinya hidup dalam keadaan yang buruk. Jangan pernah bersedih agar dunia ini tetap indah bagi semua orang. Jangan pernah takut menghadapi semuanya sendiri. Aku disini. Tanpa kau minta pun aku selalu bersedia menjadi mata mu. Akan aku ceritakan semua yang aku lihat agar kau tak pernah merasa kehilangan penglihatanmu.." jawab Riki sambil mengenggam erat tangan Liv. Mencoba menghangatkan suasana malam itu. Meski pada akhirnya mereka berpisah. Tak ada perlawanan dari Liv. Dia rindu suasana itu. Dia rindu semuanya ketika mereka bersama.
"Aku akan kembali ke Kalimantan Liv. Maaf aku meninggalkanmu lagi. Tunggu, jangan marah, kau harus mengerti. Aku pergi bukan untuk menjauhimu karena tahu keadaanmu. Hanya sementara. Aku akan kembali menemuimu. Kau harus bertahan buat aku." kata Riki sambil menepuk pelan bahu Liv. Mendengar itu ada sedikit kekecawaan tersirat di wajah sayu Liv. Namun dia tetap memilih diam.
"Pergilah Rik. Kejar impianmu. Lakukan tugasmu. Jadilah laki laki yang tangguh." kata Liv kemudian beranjak berdiri.
"Antar aku pulang Rik" kata Liv pada Riki. Kemudian mereka kembali pulang. Selepas itu ada sedikit perasaan tidak enak yang membayangi Riki sepanjang malam itu. Namun dia harus pergi. Sementara itu di sudut lain, terlihat Liv berbaring di tempat tidurnya sambil memandangi langit langit kamarnya. "Dia akan pergi. Dia akan sukses. Harus itu. Dan aku akan mati. Tak lama lagi.."
*** 
"Bagaimana keadaan kamu nak?," sapa hangat sang ibu kepada Liv yang terlihat sayu di pojok tempat tidurnya. Liv yang sedang tertunduk lesu mencoba mengangkat sedikit kepalanya.
"Entahlah bu. Aku lelah. Aku ingin mengakhiri semuanyaa" jawab Liv sambil bersandar pada Ibunya. Kali ini dia tidak menangis. Namun dari wajahnya dia terlihat datar.
"Jangan berkata seperti itu Liv. Jangan tinggalkan Ibu. Tapi Ibu juga tidak tahu harus bagaimana lagi sekarang.."
"Liv nggak pernah menyalahkan Ibu, justru Liv sedih karena Liv semakin membebani Ibu dengan penyakit ini.." Jawab Liv sambil mengusap lembut pipi sang Ibu. Tak lama kemudian handphone Liv berbunyi. Kemudian mengangkat teleponnya.
"Halo?"
"Halo, benar ini dengan Olivia?" suara dari seberang telepon. Liv yang mendengar hal itu sedikit menaikkan alisnya.
"Ya, dengan siapa ini?" jawab liv sedikit pelan.
"Ternyata benar. Syukurlah. Hai, apa kau masih mengenal aku? Ari, laki laki yang mengantarmu pulang dari toko kaset 4 bulan yang lalu" suara dari seberang sana terlihat bersemangat sekali.
"Oh yaa, aku ingat, hei bukankah aku tidak pernah memberikanmu nomor handphone ku?" tanya Liv heran.
"Mmm, aku mencari tahu informasi tentang dirimu. Bagaimana keadaanmu?" Suara laki laki tersebut terdengar dipelankan. Namun tak ada jawaban langsung dari Liv.
"Aku, baik baik saja Ari" bohong liv dengan setengah menunduk. Pembicaraan hangat itu berakhir dengan kabar baik. Tak ada yang harus disembunyikan pada laki laki sebaik Ari, pikir Liv. Dan akhirnya laki laki yang bernama Ari dia akan menjadi mata Liv selama Riki tak ada.
***
Tanpa terasa waktu berjalan sudah satu tahun. Mereka berdua sudah terlihat sangat akrab, ya tentu saja, Liv dan Ari.  Setiap hari selepas senja, Ari menyempatkan dirinya untuk berkunjung ke rumah Liv. Membawakan apapun. Terkadang makanan, boneka, maupun cerita cerita tentang dunia luar. Ari sekarang pun tahu tentang apa saja kesukaan dan yang tidak Liv sukai. Semua itu membuat Liv lupa dengan matanya. Dia tak secengeng dulu. Dia  sudah bisa menerima takdirnya kehilangan penglihatannya. Sampai pada akhirnya dia harus menerima satu kenyataan pahit, lagi.
"Mau sampai kapan kau menemani gadis buta itu dan melupakan rencana pernikahan kita?" suara itu membangunkan lamunan Ari. Dia menoleh kebelakang.
"Dara? Sejak kapan kau disini? Sudah aku bilang jangan masuk kamarku  dengan seenaknya" bentak Ari kemudian turun dari ranjangnya. Menyeret tangan wanita yang bernama Dara itu dengan sedikit kasar.
"Lepaskan! Kau terlalu sibuk memikirkan gadis itu sampai tak tahu kedatanganku. Ayo kita kembali ke lampung dan melaksanakan pernikahan kita disana." jawab Dara sambil menatap lurus kearah Ari. Ari memperhatikan wanita yang berdiri didepannya itu dengan seksama. Tak ada yang berubah. Wajah tegasnya dan pakaian yang ia pakai. Minim.
"Aku masih ada urusan disini. Dan bukankah aku belum pernah berkata aku setuju dengan pernikahan kita?"
"Oh ya? Urusan apa? Menemani gadis buta itu? Dan sekarang kau benar benar menjadi buta juga. Jelas jelas didepanmu ini ada wanita yang lebih sempurna dibandingkan gadis  buta yang miskin itu kau malah memilih dia? Ari, aku sudah tahu semuanya. Kegiatanmu bersama gadis itu pun aku sudah tahu. Jangan bilang kau lupa siapa aku? Siapa Dara?"
"Hentikan Dara. Kau tak berhak menghujatnya seperti itu. Ocehan panjangmu membuatku muak. Kau tak pernah berubah"
"Tinggalkan gadis itu dan nikahi aku secepatnya. Ingat Ari. Keluargamu punya hutang budi pada keluargaku. Ku rasa aku tak perlu mengingatkan itu lagi.." jawab Dara sambil berlalu meninggalkan Ari sendiri yang bersandar pada pintu kamarnya. Dia terlihat bingung.

"Haruskah aku berkata sejujurnya pada Liv?"
***
"Liv" sapa Ari kemudian duduk disebelah Liv. Sore itu mereka berdua berada di teras gereja seusai pemujaan. Menunggu hujan reda.
"Iya Ari. Ada apa?" Jawab Liv sambil meluruskan kakinya. Dia mencoba menoleh kearah suara Ari berasal. Ari memandang wajahnya yang polos. Terbesit rasa bersalah yang sangat mendalam.
"Aku.. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu.. Aku akan kembali ke lampung"
Sebelum Ari selesai melanjutkan pembicaraannya, dari ujung jalan terlihat sosok wanita dengan pakaian mencolok yang berjalan cepat menuju kearah mereka. Dara.
"Oh, jadi ini gadis buta yang perlu dikasihani?! Iya, kelihatan dari penampilannya" Dara menarik Liv untuk berdiri, sementara Liv yang tak tahu apa apa hanya berdiri ketakutan dan berbisik lirih.
"Kamu .. Siapa?"
"Hentikan Dara. Kau seperti anak kecil. Harusnya kau biarkan aku menyelesaikan semuanya sendiri, bukan seperti ini. Liv, maafkan dia ya?" kata Ari dengan ekspresi sedih sambil menarik Liv ke arahnya. Namun tangan itu dengan mudah dicengkeram oleh Dara.
"Gue Dara, Calon istrinya Ari. Dan kami akan menikah bulan depan. Gue minta elu jauhin calon suami gue. " kata kata terakhir Dara membuat Liv meneteskan air matanya untuk yang pertama kalinya lagi. Dadanya sakit. "Ucapan wanita itu, benarkah? Mengapa Ari tidak bilang dia akan menikah? Mengapa sejauh ini Ari sangat baik padaku dan aku .. Aku jatuh cinta padanya.. Aku sungguh bodoh.." Batin Liv dalam hati. Dia berusaha menahan tangisnya.
Sunyi. Tak ada suara lagi. Mereka telah pergi. Hanya suara kecil hujan yang turun semakin deras. Meninggalkan bekas luka mendalam dihati Liv.
"Rasanya sakit.. Aku sudah tak kuat lagi.. Kenapa semua ini harus terjadi padaku.." Tangannya menggenggam erat rosario yang ada disakunya. Rosario pemberian Riki.

29/07/12

Eyes (Dua)

Pagi itu Liv bangun dengan keadaan buruk. Wajahnya pucat. Dahinya bercucuran keringat. Dan dia tidak berhenti mengucek matanya yang dari luar terlihat baik baik saja.
"Oh Tuhan, ada apa ini, mengapa pandanganku memburam?" bisik Liv ketakutan. Dia bangun dari tempat tidurnya. Berjalan menuju meja riasnya sambil meraba raba sekitarnya untuk mencari kacamatanya.
"Ibuu," panggil Liv lirih. Bibirnya gemetar. Dia ketakutan. Dia tak bisa menemukan kacamatanya, Kepalanya berputar. Pandangannya semakin memburam.  Semuanya menjadi gelap.

***
Rumah sakit Lavalette malang siang itu nampak ramai. Beberapa orang terlihat mengantri  di loket pendaftaran sedangkan yang lainnya hilir mudik keluar masuk rumah sakit.
"Bagaimana keadaan Liv, dokter?" tanya seorang ibu yang tak lain adalah ibu Liv pada seorang dokter muda yang baru keluar dari kamar memeriksa Liv.
"Saya kira penyakit matanya mulai menjalar dengan cepat. Apa Liv sering menangis atau mengeluh tentang matanya pada ibu? Tanya dokter sambil berjalan menuju ruangannya.
"Saya tidak tahu dokter, setahu saya dia tidak pernah terlihat menangis dan mengeluh pada saya tentang kondisi matanya. Atau kah dia menyembunyikan semuanya dokter?" tanya ibu Liv dengan nada cemas. Pandangannya lurus kearah dokter itu yang sedari tadi membolak balik data kesehatan Liv.
"Kita tunggu saja ketika Liv sadar, bu. Semoga dia tidak apa apa" kata dokter sambil berusaha menenangkan ibu Liv yang sedari tadi tampak gelisah.
***
1 minggu sudah Liv berada di rumah sakit tersebut. Hari ini dia akan pulang. karena Keadaanya sudah membaik. Tetapi pandangan matanya berbeda. Semakin kosong. Tubuhnya pun sedikit lebih kurus. Terlihat dari jauh nampak seperti orang yang berusaha untuk tidak menangisi kedaannya.
"Kau sudah tidak apa apa nak?" suara lembut itu membangunkan Liv dari lamunannya. Menghapus  air mata yang hampir jatuh dan segera memperbaiki posisi duduknya.
"Ah, Ibu, kapan datang? Bikin kaget saja. Liv sudah lebih baik bu," jawab Liv kemudian berdiri, memeluk ibunya. Ada rasa sesak saat dia melakukan itu. Tetapi dia berusaha kuat.
"Ayo pulang nak. Kalau terus disini berarti harus membayar lagi" Canda Ibu sambil memukul pelan lengan Liv. Keduanya pun kemudian tersenyum.
"Maafkan Liv ya bu, Liv masih saja bikin repot Ibu.." Kata Liv dengan ekspresi sedih sambil menggandeng tangan ibunya menyosori lorong rumah sakit. Ibunya yang mendengar itu, tersenyum tulus, sambil semakin menggenggam erat tangan putri pertamanya itu.
"Tidak apa, asal kau janji untuk berusaha sembuh, jangan sembunyikan semuanya dari Ibu, katanya tak ingin merepotkan ibu lagi.."
"Liv janji bu.."
Mereka berdua pun menuju rumah. Berjalan berdampingan sebagai ibu dan anak. Memiliki harapan sendiri dalam batin masing masing.
***
Suasana Malang Tempoe Doeloe pagi itu terlihat ramai. Banyak mahasiswa dari kampus Liv yang berbondong bondong kesana. Termasuk Liv dan Tika.
"Liv, gimana keadaanmu sekarang? Sudah baikan kah?" tanya Tika sambil menyodorkan  kembang gula kearah Liv. Liv yang sedari tadi sibuk ketawa ketiwi sendiri dengan hapenya karena sedang ber-Smsan ria dengan Riki pun menjawab dengan sedikit tidak konsentrasi.
"Hah? Kau tanya apa tadi Tika?"
"Gimana keadaanmu? Kamu lagi apa sih sampai aku kasih ini nggak mau malah ketawa sendiri sama hape" jawab Tika manyun. Kemudian berbalik membelakangi Liv.
"Yee, ngambek nih. Cepet tua lo. Nanti mas Jojo gak naksir lagi gimana? Hahaha. Maaf ya Tika, ini lagi sms sm Riki. Jadi lupa deh sama kamu. Maaf yaa?" jawab Liv sambil membalikkan badan Tika. Tersenyum manja yang selalu menjadi jurus andalannya sambil memeluknya.
"Uuuh, selalu saja mengeluarkan jurus maut. Iya iya nggak apa. Eh ngomong ngomong, Riki itu siapa Liv?" Kata Tika sambil sedikit menggeser sedikit posisi duduknya. Mencoba mengintip apa yang ada dilayar hape Liv namun Liv sudah sigap menyembunyikannya.
"Nggak boleh tahu. Hahaha. Dia teman. Yaa, dulunya sih pernah pacaran. Dia seorang marinir lo. Keren kan?" kata Liv sambil mendongak kearah Tika. Kemudian memandang lurus kedepan dengan pandangan yang berbeda.
"Hah? Marinir? Kok kamu nggak pernah cerita Liv? Terus kenapa putus? Sekarang dimana dia?" tanya Tika sambil memasang wajah serius kearah Liv. Tapi Liv tetap memandang lurus kedepan dan berkata pada Tika tanpa menoleh.
"Terakhir bertemu, bulan desember kemarin. Dia tampak berubah. Terlihat lebih gagah. Tapi, sudahlah.." jawab Liv dengan bangga sambil menarik nafas panjang. Tetapi raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan kesedihannya jika dia mengingat kenangannya dengan laki laki itu.
"Yuk jalan lagi, Tika"
Liv melangkah cepat dan berharap dia juga bisa secepatnya melupakan kenangan itu. Tika yang berada dibelakangnya pun berlari mengejarnya dengan mulut penuh dengan kembang gula. Ada rasa bangga, senang, dan juga rasa sedih yang amat mendalam ketika dia mengingat itu. Bangga karena memiliki laki laki sebaik dia. Senang karena dia masih bisa ada kesempatan untuk bertemu. Dan sedih jika dia ingat ketika dia memutuskan laki laki itu demi orang lain. Entah apakah dalam hati laki laki itu benar benar tulus tanpa ada dendam pada Liv ataukah dia masih menyimpan luka lama itu namun tak pernah ia tunjukkan. Entahlah.
***
"Hei putri tidur, sudah tahu belum kalau Symfonia merilis album baru. Pasti belum punya kan? Taruhan deh, kamu bisa dapetin enggak? Hahaha. Jangan pinjam punyaku. Titik"  Sebuah pesan singkat dari Riki itu membuat hati Liv girang. Sebenarnya bukan dari Rikinya yang mebuat dia senang, tetapi band favoritnya telah merilis album baru dan itu sudah ada di kotanya. Dengan kebingungan dia melangkah kearah kamar mandi. Membersihkan badannya yang lengket karena berkebun tadi sore dengan adiknya, kemudian bergegas menuju toko kaset yang ada di ujung jalan untuk membeli kasetnya.
Dengan kaos lengan panjang warna kuning kesukaannya dan celana jeans selutut Liv pun segera bersiap berangkat.
"Mau pergi kemana Liv? Kacamatanya enggak dipakai?" tanya ibu sambil menghidangkan makan malam. Kemudian memperhatikan Liv dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan tatapan heran.
"Mau ke toko kaset sebentar ibu, nggak apa kok, Liv masih bisa melihat. Berangkat dulu ya bu.." Kata Liv sambil berlalu.
Sepanjang perjalanan ke toko kaset dia tersenyum sendiri. Membayangkan dirinya memamerkan kaset band idolanya pada Riki sambil memasang wajah jail. Sesekali  dia terlihat menyilangkan tangannya karena udara malang malam itu sangat dingin. Suasana toko kaset itu ramai pengunjung, Dari kejauhan sudah terdengar alunan musik metal yang sedikit mengganggu telinga bagi yang tidak terbiasa mendengarkannya.
"Waah, harus cepat nih.." gumam Liv sambil berlari masuk. Setibanya disana, dia menghentikan langkahnya refleks. Wajahnya memucat. Pandangannya tiba tiba memburam.
"Oh Tuhan, tidak, jangan sekarang Tuhan.. Bagaimana ini .." Liv pun tetap bersikap seolah tidak terjadi apa apa pada dirinya. Tetapi tangannya bergerak meraba raba tembok sekitarnya.
"Oh Tuhan, mataku.." Liv tetap meraba. Berusaha menahan tangis yang sedari tadi menumpuk di kelopak matanya. Tanpa sadar dia menabrak seseorang.
"Maaf.. Maafkan aku" kata Liv sambil berusaha melihat orang yang dia tabrak. Laki laki yang sama yang dia lihat diperpustakaan waktu itu. Namun karena dia tak bisa melihat dengan jelas, dia tidak mengenalinya.
"Tak apa. Kenapa kamu? Ada masalah? Eh, sepertinya aku pernah melihatmu, tapi dimana yaa?.. Eh tunggu dulu. Kenapa meraba raba seperti itu? Kau.. Tidak bisa melihat ya?" kata laki laki itu sambil melihat Liv. Memperhatikan pandangan matanya. Mengarahkan tangannya ke arah Liv. Namun gadis yang dia ajak bicara tetap diam dengan ekspresi ketakutan.
"Hei hei, tenanglah, aku orang baik. Ada yang bisa ku bantu?" kata laki laki itu sambil menggandeng lengan Liv. Menuntunnya ke seberang toko agar aman. Liv pun tidak menolak.
"Aku.. Aku hanya ingin mencari kaset dan kemudian pulang. Tapi aku tidak bisa melihat sekarang.." kata Liv gemetar sambil melihat kesekitarnya yang buram. Mengerjapkan matanya dengan harapan dia bisa melihat lagi. Namun itu sia sia. Dia tetap masih tak bisa melihat.
"Oke oke. Kau mencari kaset apa? Biar aku yang mencarinya. Kau tunggu disini saja." Kata laki laki itu kemudian masuk kedalam toko setelah Liv memberi tahu dia. 7 menit kemudian dia kembali dengan kaset titipan Liv terbungkus plastik warna hitam. Liv yang duduk lemas dibangku panjang sebelah toko itu terlihat sedikit lebih tenang.
"Ini milikmu. Ada bonus posternya juga." Kata laki laki itu sambil menyerahkan tas plastik itu kemudian duduk disebelah Liv. Untuk beberapa saat mereka terdiam.
"Terima kasih banyak.. Sungguh aku tidak tahu bagaimana aku jika tidak bertemu denganmu.." kata Liv sambil menoleh kearah laki laki itu berharap dia bisa melihat sedikit saja wajah laki laki itu dengan jelas. Tetap saja masih buram.
"Ya, sama sama. kau tak ingin pulang sekarang? Aku takut kau semakin memburuk. Dan ini juga sudah malam. Eh, dimana rumahmu, akan aku antarkan kau sekalian.." Laki laki itu berdiri. Mengajak Liv berdiri juga kemudian menuntunnya kearah motornya yang diparkir didepan toko.
"Sekali lagi terima kasih banyak.. Aku Liv. Olivia Audrey" kata Liv sambil mengulurkan tangannya yang disambut hangat tangan laki laki itu.
"Aku Ari. Senang berkenalan denganmu. Ayo aku antar pulang."
Mereka menembus gelap dan dinginnya malam di kota malang dengan motor bebek. Berusaha mencerna kejadian yang terjadi malam itu