29/07/12

Eyes (Dua)

Pagi itu Liv bangun dengan keadaan buruk. Wajahnya pucat. Dahinya bercucuran keringat. Dan dia tidak berhenti mengucek matanya yang dari luar terlihat baik baik saja.
"Oh Tuhan, ada apa ini, mengapa pandanganku memburam?" bisik Liv ketakutan. Dia bangun dari tempat tidurnya. Berjalan menuju meja riasnya sambil meraba raba sekitarnya untuk mencari kacamatanya.
"Ibuu," panggil Liv lirih. Bibirnya gemetar. Dia ketakutan. Dia tak bisa menemukan kacamatanya, Kepalanya berputar. Pandangannya semakin memburam.  Semuanya menjadi gelap.

***
Rumah sakit Lavalette malang siang itu nampak ramai. Beberapa orang terlihat mengantri  di loket pendaftaran sedangkan yang lainnya hilir mudik keluar masuk rumah sakit.
"Bagaimana keadaan Liv, dokter?" tanya seorang ibu yang tak lain adalah ibu Liv pada seorang dokter muda yang baru keluar dari kamar memeriksa Liv.
"Saya kira penyakit matanya mulai menjalar dengan cepat. Apa Liv sering menangis atau mengeluh tentang matanya pada ibu? Tanya dokter sambil berjalan menuju ruangannya.
"Saya tidak tahu dokter, setahu saya dia tidak pernah terlihat menangis dan mengeluh pada saya tentang kondisi matanya. Atau kah dia menyembunyikan semuanya dokter?" tanya ibu Liv dengan nada cemas. Pandangannya lurus kearah dokter itu yang sedari tadi membolak balik data kesehatan Liv.
"Kita tunggu saja ketika Liv sadar, bu. Semoga dia tidak apa apa" kata dokter sambil berusaha menenangkan ibu Liv yang sedari tadi tampak gelisah.
***
1 minggu sudah Liv berada di rumah sakit tersebut. Hari ini dia akan pulang. karena Keadaanya sudah membaik. Tetapi pandangan matanya berbeda. Semakin kosong. Tubuhnya pun sedikit lebih kurus. Terlihat dari jauh nampak seperti orang yang berusaha untuk tidak menangisi kedaannya.
"Kau sudah tidak apa apa nak?" suara lembut itu membangunkan Liv dari lamunannya. Menghapus  air mata yang hampir jatuh dan segera memperbaiki posisi duduknya.
"Ah, Ibu, kapan datang? Bikin kaget saja. Liv sudah lebih baik bu," jawab Liv kemudian berdiri, memeluk ibunya. Ada rasa sesak saat dia melakukan itu. Tetapi dia berusaha kuat.
"Ayo pulang nak. Kalau terus disini berarti harus membayar lagi" Canda Ibu sambil memukul pelan lengan Liv. Keduanya pun kemudian tersenyum.
"Maafkan Liv ya bu, Liv masih saja bikin repot Ibu.." Kata Liv dengan ekspresi sedih sambil menggandeng tangan ibunya menyosori lorong rumah sakit. Ibunya yang mendengar itu, tersenyum tulus, sambil semakin menggenggam erat tangan putri pertamanya itu.
"Tidak apa, asal kau janji untuk berusaha sembuh, jangan sembunyikan semuanya dari Ibu, katanya tak ingin merepotkan ibu lagi.."
"Liv janji bu.."
Mereka berdua pun menuju rumah. Berjalan berdampingan sebagai ibu dan anak. Memiliki harapan sendiri dalam batin masing masing.
***
Suasana Malang Tempoe Doeloe pagi itu terlihat ramai. Banyak mahasiswa dari kampus Liv yang berbondong bondong kesana. Termasuk Liv dan Tika.
"Liv, gimana keadaanmu sekarang? Sudah baikan kah?" tanya Tika sambil menyodorkan  kembang gula kearah Liv. Liv yang sedari tadi sibuk ketawa ketiwi sendiri dengan hapenya karena sedang ber-Smsan ria dengan Riki pun menjawab dengan sedikit tidak konsentrasi.
"Hah? Kau tanya apa tadi Tika?"
"Gimana keadaanmu? Kamu lagi apa sih sampai aku kasih ini nggak mau malah ketawa sendiri sama hape" jawab Tika manyun. Kemudian berbalik membelakangi Liv.
"Yee, ngambek nih. Cepet tua lo. Nanti mas Jojo gak naksir lagi gimana? Hahaha. Maaf ya Tika, ini lagi sms sm Riki. Jadi lupa deh sama kamu. Maaf yaa?" jawab Liv sambil membalikkan badan Tika. Tersenyum manja yang selalu menjadi jurus andalannya sambil memeluknya.
"Uuuh, selalu saja mengeluarkan jurus maut. Iya iya nggak apa. Eh ngomong ngomong, Riki itu siapa Liv?" Kata Tika sambil sedikit menggeser sedikit posisi duduknya. Mencoba mengintip apa yang ada dilayar hape Liv namun Liv sudah sigap menyembunyikannya.
"Nggak boleh tahu. Hahaha. Dia teman. Yaa, dulunya sih pernah pacaran. Dia seorang marinir lo. Keren kan?" kata Liv sambil mendongak kearah Tika. Kemudian memandang lurus kedepan dengan pandangan yang berbeda.
"Hah? Marinir? Kok kamu nggak pernah cerita Liv? Terus kenapa putus? Sekarang dimana dia?" tanya Tika sambil memasang wajah serius kearah Liv. Tapi Liv tetap memandang lurus kedepan dan berkata pada Tika tanpa menoleh.
"Terakhir bertemu, bulan desember kemarin. Dia tampak berubah. Terlihat lebih gagah. Tapi, sudahlah.." jawab Liv dengan bangga sambil menarik nafas panjang. Tetapi raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan kesedihannya jika dia mengingat kenangannya dengan laki laki itu.
"Yuk jalan lagi, Tika"
Liv melangkah cepat dan berharap dia juga bisa secepatnya melupakan kenangan itu. Tika yang berada dibelakangnya pun berlari mengejarnya dengan mulut penuh dengan kembang gula. Ada rasa bangga, senang, dan juga rasa sedih yang amat mendalam ketika dia mengingat itu. Bangga karena memiliki laki laki sebaik dia. Senang karena dia masih bisa ada kesempatan untuk bertemu. Dan sedih jika dia ingat ketika dia memutuskan laki laki itu demi orang lain. Entah apakah dalam hati laki laki itu benar benar tulus tanpa ada dendam pada Liv ataukah dia masih menyimpan luka lama itu namun tak pernah ia tunjukkan. Entahlah.
***
"Hei putri tidur, sudah tahu belum kalau Symfonia merilis album baru. Pasti belum punya kan? Taruhan deh, kamu bisa dapetin enggak? Hahaha. Jangan pinjam punyaku. Titik"  Sebuah pesan singkat dari Riki itu membuat hati Liv girang. Sebenarnya bukan dari Rikinya yang mebuat dia senang, tetapi band favoritnya telah merilis album baru dan itu sudah ada di kotanya. Dengan kebingungan dia melangkah kearah kamar mandi. Membersihkan badannya yang lengket karena berkebun tadi sore dengan adiknya, kemudian bergegas menuju toko kaset yang ada di ujung jalan untuk membeli kasetnya.
Dengan kaos lengan panjang warna kuning kesukaannya dan celana jeans selutut Liv pun segera bersiap berangkat.
"Mau pergi kemana Liv? Kacamatanya enggak dipakai?" tanya ibu sambil menghidangkan makan malam. Kemudian memperhatikan Liv dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan tatapan heran.
"Mau ke toko kaset sebentar ibu, nggak apa kok, Liv masih bisa melihat. Berangkat dulu ya bu.." Kata Liv sambil berlalu.
Sepanjang perjalanan ke toko kaset dia tersenyum sendiri. Membayangkan dirinya memamerkan kaset band idolanya pada Riki sambil memasang wajah jail. Sesekali  dia terlihat menyilangkan tangannya karena udara malang malam itu sangat dingin. Suasana toko kaset itu ramai pengunjung, Dari kejauhan sudah terdengar alunan musik metal yang sedikit mengganggu telinga bagi yang tidak terbiasa mendengarkannya.
"Waah, harus cepat nih.." gumam Liv sambil berlari masuk. Setibanya disana, dia menghentikan langkahnya refleks. Wajahnya memucat. Pandangannya tiba tiba memburam.
"Oh Tuhan, tidak, jangan sekarang Tuhan.. Bagaimana ini .." Liv pun tetap bersikap seolah tidak terjadi apa apa pada dirinya. Tetapi tangannya bergerak meraba raba tembok sekitarnya.
"Oh Tuhan, mataku.." Liv tetap meraba. Berusaha menahan tangis yang sedari tadi menumpuk di kelopak matanya. Tanpa sadar dia menabrak seseorang.
"Maaf.. Maafkan aku" kata Liv sambil berusaha melihat orang yang dia tabrak. Laki laki yang sama yang dia lihat diperpustakaan waktu itu. Namun karena dia tak bisa melihat dengan jelas, dia tidak mengenalinya.
"Tak apa. Kenapa kamu? Ada masalah? Eh, sepertinya aku pernah melihatmu, tapi dimana yaa?.. Eh tunggu dulu. Kenapa meraba raba seperti itu? Kau.. Tidak bisa melihat ya?" kata laki laki itu sambil melihat Liv. Memperhatikan pandangan matanya. Mengarahkan tangannya ke arah Liv. Namun gadis yang dia ajak bicara tetap diam dengan ekspresi ketakutan.
"Hei hei, tenanglah, aku orang baik. Ada yang bisa ku bantu?" kata laki laki itu sambil menggandeng lengan Liv. Menuntunnya ke seberang toko agar aman. Liv pun tidak menolak.
"Aku.. Aku hanya ingin mencari kaset dan kemudian pulang. Tapi aku tidak bisa melihat sekarang.." kata Liv gemetar sambil melihat kesekitarnya yang buram. Mengerjapkan matanya dengan harapan dia bisa melihat lagi. Namun itu sia sia. Dia tetap masih tak bisa melihat.
"Oke oke. Kau mencari kaset apa? Biar aku yang mencarinya. Kau tunggu disini saja." Kata laki laki itu kemudian masuk kedalam toko setelah Liv memberi tahu dia. 7 menit kemudian dia kembali dengan kaset titipan Liv terbungkus plastik warna hitam. Liv yang duduk lemas dibangku panjang sebelah toko itu terlihat sedikit lebih tenang.
"Ini milikmu. Ada bonus posternya juga." Kata laki laki itu sambil menyerahkan tas plastik itu kemudian duduk disebelah Liv. Untuk beberapa saat mereka terdiam.
"Terima kasih banyak.. Sungguh aku tidak tahu bagaimana aku jika tidak bertemu denganmu.." kata Liv sambil menoleh kearah laki laki itu berharap dia bisa melihat sedikit saja wajah laki laki itu dengan jelas. Tetap saja masih buram.
"Ya, sama sama. kau tak ingin pulang sekarang? Aku takut kau semakin memburuk. Dan ini juga sudah malam. Eh, dimana rumahmu, akan aku antarkan kau sekalian.." Laki laki itu berdiri. Mengajak Liv berdiri juga kemudian menuntunnya kearah motornya yang diparkir didepan toko.
"Sekali lagi terima kasih banyak.. Aku Liv. Olivia Audrey" kata Liv sambil mengulurkan tangannya yang disambut hangat tangan laki laki itu.
"Aku Ari. Senang berkenalan denganmu. Ayo aku antar pulang."
Mereka menembus gelap dan dinginnya malam di kota malang dengan motor bebek. Berusaha mencerna kejadian yang terjadi malam itu

25/07/12

Eyes (Satu)

"Liv, tunggu.." Seru seorang gadis dengan setengah berteriak pada temannya yang ia panggil Liv. Tapi gadis yang bernama Liv itu tetap saja melangkah sambil sesekali melihat layar handphonenya.
 "Wahh, bakal telat nih aku" gumamnya dalam hati. Sambil mempercepat langkah kakinya, temannya yang sedari tadi berlari kearahnya pun menepuk dari belakang. 
"Berhenti. Sini duduk. Ampun dah Liv, aku panggil dari tadi juga ngga berhenti malah makin cepet aja jalannya.." gerutu gadis itu sambil merapikan rambutnya yang acak - acakan terkena angin.
"Maaf Tika, hari ini aku ada janji sama adik buat belikan dia jaket, jadinya buru buru pulang deh, nih minum dulu" balasnya pada gadis yang bernama Tika sambil menahan tawa, kemudian menyodorkan sebotol air mineral yang ia keluarkan dari tasnya.
"Yah tapi kan kamu bisa berhenti sebentar Liv, nggak kasihan apa, aku ini punya sesak nafas lo.." jawab tika sambil menggerutu. Kemudian dia meminum air mineral itu. Liv hanya cekikikan melihat tingkah laku teman akrabnya itu sambil meluruskan kakinya. Pandangannya lurus kedepan, menerawang jauh melewati pohon pohon yang menghiasi pekarangan kampusnya. Lamunannya pun tersadar ketika handphone yang sedari tadi ia genggam bergetar. 1 pesan masuk.
"Cepat pulang kak, jangan lupa janjinya".  
Dia tidak membalas pesan itu, memencet tombol keluar, kemudian bergumam pelan sambil tetap memandang lutus kedepan, 
"Kalau saja masih ada sisa uang, pasti aku belikan jaketnya pakai uangku. Ngga harus pakai uangnya sendiri. Kakak macam apa aku ini". Tika yang mendengar gumaman itu meskipun samar samar langsung menghentikan kegiatan membaca bukunya.
"Kenapa lagi Liv? Muka kamu keruh banget?" tanya Tika sambil melepas kacamata bacanya. Liv yang ditanya pun segera memperbaiki ekspresi wajahnya seolah olah tidak terjadi apa apa. Dia tidak ingin membuat sahabatnya itu khawatir.
"Enggak ada apa apa kok, cuman masalah kecil aja. Jangan khawatir Tika," sambil berusaha tersenyum kearah temannya itu. Kemudian memandang lurus kedepan lagi.
"Aku tahu, kau pasti ada masalah. Kalau kau mau kau bisa cerita padaku.Mungkin yang bisa bantu cuman sedikit, tapi setidaknya kau bisa lega setelah bercerita.." sambil menepuk bahu Liv yang tetap memandang lurus kedepan. Liv menoleh, dan tersenyum,
"Terima kasih banyak Tika, tapi aku ngga papa kok.." jawab Liv sambil berdiri. "Kita pulang yuk? adikku sudah menunggu dirumah". Mereka pun berjalan beriringan dengan pikirannya masing masing. Sedikit harapan lirih yang keluar dari bibir tipis Liv, menutup semua yang terjadi sore itu.
"Lancarkanlah rizki hambaMu ini Tuhan, selalu.."
***
Minggu pagi yang dingin memaksa Liv untuk bangun. Ada hal yang harus ia kerjakan sebagai seorang Mahasiswi semester 4 di sebuah perguruan tinggi swasta terkenal di kota Malang.
"Seharusnya hari ini aku masih terbaring di ranjang, huh, merepotkan sekali ternyata menjadi mahasiswa" gerutu Liv dalam hati sambil berjalan cepat. Hari ini Ia akan pergi ke perpustakaan kota Malang untuk menyelesaikan tugas yang seharusnya sudah Ia kumpulkan seminggu yang lalu. Namun karena dia pemalas, tugasnya pun menjadi terbengkalai.
Perpustakaan itu terlihat sepi pengunjung. Hanya ada sedikit orang di sisi kanan perpustakan yang sedang membuka dagangannya, mencoba mengais rizki Tuhan meski mereka sering mendapat hardikan dari penjaga perpustakaan kalau dilarang berjualan disekitar area itu. Liv melangkahkan kakinya menuju lantai 1. Menyusuri koridor panjang rak rak buku yang menyajikan buku buku tentang astronomi. Dia pun berhenti tepat dimana dia menemukan sebuah buku yang menjadi tujuannya datang ke perpustakan itu. Menyusuri kembali lorong perpustakan kemudian duduk di tempat yang sudah disediakan bagi pengunjung.
"Hmm, aku rasa kepalaku akan sakit membaca ini semua. Dan mataku akan semakin buram juga. Tebal sekal buku ini" gumamnya sambil membolak balik halaman buku. Membaca sepintas kemudian di balik ke halaman selanjutnya. Sampai akhirnya konsentrasinya buyar akibat suara berisik seorang laki laki yang sedang menerima telepon namun tangan dan pandangannya mengelilingi rak buku.
"Hei, aku sedang keluar bersama teman temanku. Ya, itu, jalan jalan, kau harus mengerti, aku baru saja sampai setelah perjalanan jauh dari Lampung. Biarkan aku bersenang senang sebentar saja" bohong laki laki itu pada orang diseberang sana yg menelponnya. Liv memperhatikan orang itu dengan seksama. Ada sedikit rasa kesal di hatinya karena berani beraninya laki laki itu membuat gaduh di perpustakan.
"Baiklah baiklah, aku akan pulang menjemputmu. Oke. Dah." dia mengakhiri pembicaraannya dengan kesal. Menaruh kembali handphonenya kedalam saku celananya kemudian melanjutkan lagi mencari bukunya. Merasa ada yang memperhatikannya, dia menoleh kearah Liv yang kebetulan hanya dia saja orang diperpustakaan itu dan sekaligus memandangnya dengan tatapan jengkel. Liv yang sadar bahwa laki laki itu memandang heran kearahnya, kembali melanjutkan membaca bukunya juga sambil menggerutu "Orang yang tidak tahu sopan santun"

Tanpa dia sadari, perpustakaan itu menjadi tempat pertama dia bertemu dengan laki laki yang suatu hari nanti merubah dirinya.
Setelah menghabiskan waktu 4 jam di perpustakaan, Liv pun segera pulang. Dalam perjalanan pulang dia berhenti disebuah kios makanan. Pandangannya pun tertuju pada bakso bakar khas Malang.
"Wah, mungkin aku harus mengisi perut terlebih dulu sebelum pulang. Sudah lama nggak mencicipi makanan ini" kata Liv kegirangan setelah memesan seporsi bakso bakar dan es degan kesukaannya. Sejurus kemudian dia mengambil tempat duduk yang menghadap langsung kearah jalan raya. Suasana kota malang sore itu terlihat sepi. Membuat Liv melamun teringat akan peristiwa 5 tahun yang lalu. Sebuah tragedi yang membuat penglihatannya melemah. Yang membuatnya takut ketika berkendara sendirian di jalanan dan membuatnya trauma dengan benda yang bernama mobil. Bayangan sahabatnya yang bercucuran darah yang terpental 10 km darinya pun membuat dia refleks menutup mukanya ketika mengingat peristiwa itu.
"Maafkan aku Isna, aku sungguh menyesal. Apa kau tenang disana, saudariku?" gumam Liv lirih dan tanpa sadar matanya berair. Menyadari itu dia cepat cepat menghapus airmatanya. "Jangan menangis Liv." katanya dalam hati. Dia mencoba menghibur dirinya sendiri dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak menangis bagaimana pun keadaanya. Dia harus tahu, kini dia sendirian. Tidak ada yang mengingatkannya lagi untuk tidak menangis. Sahabatnya yang bernama Isna, yang selalu bersama dia sudah meninggal akibat kejadian itu. Tinggalah dia sendiri yang harus tetap bertahan meski dengan keterbatasan penglihatan.
*** 
Rabu, 1 Desember 1998. Kalender pada tanggal itu terlihat berbeda dengan tanggal lainnya. Ada lingkaran merah disana. Dan ada catatan kecil ditulis dengan tinta warna jingga, warna kesukaan Liv. Hari ini dia akan bertemu dengan seseorang di sebuah gereja yang terletak di sudut kota malang. Namanya Riki. Seorang laki laki yang tak pernah membuat dia bersedih selama mereka berteman. Seorang yang sudah dikenal Liv dalam dan luarnya. Seorang laki laki tangguh yang sedikit kasar jika dia sedang marah. Dan seorang yang pernah membahagiakan Liv meski hanya 2 bulan saja. Ingatan itu masih jelas dalam otak Liv.
Jam tangan Liv menunjukkan pukul 11 siang namun matahari di kota malang masih saja belum bisa menghangatkan suasana hatinya saat itu. Dadanya berdetak kencang, tangannya dingin. "Sudah hampir 1 setengah tahun aku tidak bertemu denganmu Rik. Seperti apa kamu sekarang? hmm" gumam Liv sambil mengutak atik handphonenya, membuka galeri fotonya dan melihat 1 gambar foto dirinya dengan seorang laki laki berseragam militer. Mereka tersenyum bersama tetapi dengan jarak sedikit berjauhan. Foto itu diambil di tempat kerja Liv. Dia sengaja menemui Liv yang waktu itu masih bekerja sekaligus dia ingin berpamitan karena tugasnya yang mengharuskan mereka berpisah sementara waktu.
Lima belas menit pun berlalu, namun sosok yang Liv tunggu belum juga tampak batang hidungnya. Liv yang mulai bosan pun beranjak dari tempat duduknya, berjalan jalan mengitari halaman gereja itu. Tak jauh dari tempat dia berdiri, kemudian muncullah sosok yang dia tunggu. Sosok laki laki berbadan tegap, berseragam militer lengkap dengan tas ransel besar dipunggungnya. Tanpa sadar Liv mengamati laki laki itu tanpa berkedip.
"Riki .."
Mereka bertemu. Pertemuan kedua mereka. Untuk beberapa saat mereka saling memandang. Saling melemparkan senyum. Dan berbicara pada hati masing masing.
"Mengapa kau memandangku seperti itu? Apa kau malu bertemu dengan seseorang dengan kostum militer seperti ini hah?" tanya Riki sedikit kesal karena Liv memandanginya dengan tatapan aneh. Kemudian dia duduk dibangku panjang dekat pohon cemara di ujung gereja.
"Hei, bukan itu maksudku, maaf ya, aku hanya sedikit terkejut melihat dirimu," jawab Liv dengan nada takut. Tak ada jawaban. Ekspresi kecewa Riki tadi semakin membuatnya menyesal telah mengatakan hal itu.

"Maafkan aku Rik," sesal Liv sambil menunduk. Laki laki yang berada didepannya pun  berganti memandanginya. Mengamati sambil mengangguk anggukan kepalanya sendiri.
"Berhenti memandangiku seperti itu Rik, aku malu, ya, aku salah, maafkan aku.." kata Liv sambil menunduk. Mengayun ayunkan kakinya sambil melihat kebawah.
"Hahaha, hei hei Olivia Audrey, apa kau sudah melupakan aku? Mana mungkin aku marah di hari yang istimewa ini hanya gara gara kamu memandangku dengan tatapan aneh?" celoteh Riki sambil mengacak acak rambut ikal Liv. Mendengar hal itu wajah sumringah Liv pun kembali. Sambil memukul Riki dengan manja Liv pun menjawab
"Uuhh, dasar Riki si kepala kentang jahil banget. Ya ampun kau terlihat sangat buruk. Semakin kurus dan hitam, hahaha" ejek Liv sejurus kemudian dia bangun untuk menghindar dari serangan Riki.
"Hei dasar putri tidur kurang ajar, jangan lari.." teriak Riki sambil menahan geli melihat tingkah gadis yang didepannya itu.
"Ayo kejar aku pak marinir, hahahaha" Liv pun berlari meninggalkan Riki yang tersenyum sendirian. Pertemuan itu merupakan hal yang paling mereka tunggu selama satu tahun ini. Ketika pertama mereka bertemu sebagai sepasang kekasih dan akhirnya mereka terpisah karena pekerjaan, dan kini mereka bertemu kembali karena rindu yang sama di hati mereka namun bukan sebagai sepasang kekasih lagi.

23/07/12

Eyes (Prolog)

Ketika takdir Tuhan telah ditetapkan. Ketika matanya benar - benar hilang. Ketika penyemangat hidupnya pergi merangkai lembaran hidup barunya. Ketika tak ada lagi yang bisa dia percaya untuk sebuah kata "Cinta"
Gadis itu merutuk nasibnya, menyia-nyiakan sisa hidupnya, dan tanpa rasa bersalah dia memohon, "Percepat kematianku Tuhan.."
Dan kemudian hari Gadis Buta itu tinggalah sebuah nama di atas nisan..