01/09/12

Eyes (Tiga)

Satu minggu telah berlalu. Sinar matahari kota Malang siang itu masih belum bisa menghangatkan Liv yang terduduk lemas di pinggiran jendela kamar tidurnya. Matanya menerawang lurus kedepan menembus pemandangan sekitarnya. Mata yang kosong. Sunyi. Hanya bisikan otaknya yang tengah berperang dengan batinnya. Teringat perkataan sang dokter yang memvonis matanya sudah benar benar parah. Dia belum bisa menerima itu.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Semuanya sudah selesai. Hancur." batin Liv dalam hati. Dia ingin menangis agar dadanya yang sedari tadi sesak bisa sedikit ringan. Tapi akan lebih parah lagi jika dia menangis. Dia pun memutuskan untuk menahan semuanya. Tiba tiba nada dering handphonenya berbunyi. Tangannya pun meraba raba mencari dimana dia meninggalkan handphonenya.
"Liv, Kau baik baik saja?" suara berat Riki dari seberang sana membuat Liv menjauhkan sedikit handphonenya, namun dia tersenyum simpul dan berkata dalam hati "Riki, ternyata dia menghawatirkan aku"
"Riki, aku baik - baik saja. Tenanglah. Kau terdengar sangat ketakutan seperti telah melihat hantu. Hahaha" jawab Liv sambil setengah bercanda untuk mencairkan suasana. Namun kesedihan hatinya belum bisa dia sembunyikan.
"Aku menghawatirkan dirimu. Aku dengar dari Hendrik teman kampusmu itu kau tidak bisa melihat sekarang setelah kecelakaan waktu itu. Hei, kau menyembunyikan semuanya.  Apa yang terjadi? Kecelakaan apa? Bagaimana bisa kau jadi tak bisa melihat sekarang? Dengar ya putri tidur, kau tak boleh seenaknya saja bermain rahasia rahasiaan seperti itu" omel Riki pada Liv. Liv yang mendengar hal itu menjadi terharu. Dia tertawa kecil, mencoba menghibur diri agar Riki tidak tahu seperti apa keadaanya sekarang. Hening. Tak ada yang mengomel lagi untuk beberapa saat.
"Aku hanya sedikit tidak bisa melihat Riki. Tak usah panik seperti itu. Oh iya, aku sudah membeli kaset Symfonia seperti yang kau suruh seminggu yang lalu. Akhirnya aku bisa .."
"Aku ingin bertemu denganmu Liv."  kata Riki secara tiba tiba tanpa membiarkan Liv melanjutkan pembicaraannya tadi. Tak ada jawaban langsung dari Liv. Dia menunduk sambil memainkan jari jari kecilnya. Masih tetap tak ada jawaban
"Aku .. Aku tak bisa Rik." jawab Liv sedih.
"Apa selamanya kau tak ingin aku tahu dimana kau tinggal Liv? Apa kau ingin aku mencari tahu sendiri? Kau ingin aku melakukan itu? Benarkah? Jangan diam saja Liv, jawab aku."
"Aku tak ingin menemuimu dengan keadaan seperti ini Riki. Aku tak bisa melihat. Aku buta! Kau puas sekarang??" Jawab Liv setengah teriak. Tangisnya pecah. Dari seberang sana terlihat Riki menunduk. Jauh dalam hatinya sebenarnya dia tak bermaksud melakukan hal seperti itu. Membuat gadis itu menangis. Dia sangat menyesal sehingga mereka terdiam beberapa saat lamanya. Tak ada yang memulai percakapan kembali. Yang terdengar kini hanyalah isak Liv sesenggukan.

"Aku minta maaf Liv. Maafkan aku. Tadinya aku tak ingin membuatmu menangis dan semakin parah. Sungguh." kata Riki sambil memelankan suaranya. Namun tidak ada jawaban.
"Kau boleh marah padaku Liv sekarang. Akan aku tutup teleponnya agar kau bisa menenangkan diri. Aku mohon maafkan aku."
tuut tuut tuut. Telepon terputus. Tangis Liv pun semakin menjadi. Dia tak peduli dengan keadaan matanya lagi. Yang dia lakukan kini menangis. Mengeluarkan semua yang menjadi beban dalam hatinya. Dia ingin marah pada Riki yang telah membuatnya menjadi menangis. Marah karena dia tidak mengerti bagaimana keadaanya sekarang. Di sisi lain, disebuah lapangan tembak yang terlihat sepi, Riki yang sedari tadi duduk melamun sehabis menelpon beranjak bangun. Mengangkat kepalanya. Kemudian berteriak keras. "Aaarrrrrgggghhhhhh... Bodoh!"
Hari itu dia tidak bermaksud membuat kejadiannya seperti ini. Hari itu dia hanya ingin berkata bahwa dia akan segera kembali ke Kalimantan untuk tugas selanjutnya. Dia hanya mempunyai sisa waktu 3 hari untuk berbicara dan menemui gadis itu. Namun kini dia pasrah. Terjadi perang didalam batinnya. Andai saja dia bisa sedikit berkata pelan waktu itu. Andai saja dia bisa mengerti bagaimana keadaan gadis itu. Andai saja dia tidak ceroboh. Dan hari yang panjang itu berakhir dengan sebuah penyesalan di hati mereka masing - masing.
***
Gelap. Tak bisa melihat. Hanya bisa mendengar saja. Ini sudah pagi ataukah siang? Atau bahkan ini masih tengah malam? Semuanya terlihat sama. Bahkan ketika dia membuka mata ataupun menutup mata, masih saja sama. Hanya gelap gelap dan gelap. Lelehan air matanya semakin membuat kegelapan itu sempurna. Entah sudah berapa lama dia menangis. Andai dia bisa melihat, dia akan melihat betapa buruknya wajahnya itu. Juga matanya yang semakin dia menangis maka akan semakin sembab juga matanya. Sang Ibu yang melihat dari balik pintu kamar hanya bisa terdiam lemas. Dalam hatinya dia menangis. "Mengapa harus anakku yang menderita, Tuhan? Mengapa bukan diriku saja yang sudah renta ini? Apa yang harus aku lakukan sekarang agar dia bisa kembali seperti dulu? Aku rindu anakku yang dulu.." sang Ibu yang tak tega melihat anaknya seperti itu akhirnya dia memutuskan untuk menjauh dulu dari kamarnya. Memikirkan kembali apa yang harus dia lakukan demi anaknya itu.
***
Suasana lapangan tembak tengah kota Malang sore itu terlihat sepi. Terlihat sosok Riki  dengan ekspresi wajah cemas yang sedang menunggu seseorang. Tak lama kemudian sosok yang dia tunggu muncul juga. Dia adalah Hendrik, teman 1 kelas di kampus Liv yang juga rekan 1 team futsal Riki ketika dia berada di Malang dan belum bergabung di pendidikan marinirnya.
"Sorry telat bro, cewek gue minta di antar ke salon dulu. Mohon maklum yah." kata Hendrik sambil bersalaman dengan Riki. Riki membalas salamannya dan kemudian menjawab dengan anggukan pelan, kemudian duduk di rumput rumput sambil menekuk kedua kakinya. Mereka saling diam. Memandang lurus kedepan kearah matahari yang akan tenggelam namun masih ingin memamerkan sinarnya yang indah berwarna jingga itu. Tak ada yang membuka percakapan.
"Jadi, bagaimana dia bisa seperti itu ndrik? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya riki dengan suara dipelankan. Tetap memandang lurus kedepan. Berusaha bertanya setenang mungkin karena dia tidak ingin kejadian di telepon waktu itu dengan Liv terulang lagi. Namun kecemasan hatinya tetap terlihat di mata cokelatnya.
"Gue nggak tahu pastinya bro. Setahu gue dia kecelakaan di Batu sama sahabat ceweknya. Dan sahabatnya itu meninggal saat perjalanan ke rumah sakit. Pernah sekali  waktu itu si Oliv ngeluh ke gue pas lagi kerja kelompok. Dia bilang tiba tiba matanya buram dan gak bisa ngelihat. Pas gue tanya kenapa bisa seperti itu, dia cuman jawab singkat, efek kecelakaan di daerah Batu aja. Itu yang bisa gue ceritain ke elu Bro" jawab Hendrik sambil menepuk pelan bahu Riki. Riki yang mendengar itu hanya bisa mengambil nafas berat. Berusaha menenangkan dirinya. "Oh Tuhan, kenapa harus dia?" batin Riki penuh sesal.
"2 hari lagi tugas gue disini selesai ndrik. Gue balik lagi ke Kalimantan. Dan kemarin itu adalah hal yang paling bodoh yang gue lakuin ke dia." Riki terus saja berceloteh panjang lebar pada Hendrik tanpa menoleh ke arahnya. Semalaman dia selalu dihantui rasa bersalah itu. Dan kini disampingnya ada seorang sahabat, dia memberanikan diri untuk mengeluarkan semua unek unek yang menghantui dirinya agar bisa sedikit tenang.
"Sekarang gue gak tahu harus ngelakuin apa. Rumahnya aja gue nggak tahu. Dia bilang dia nggak ingin ketemu gue gara- gara dia buta. Dan gue juga nggak bisa bayangin kalo dia tahu, gue bakal balik ke kalimantan lagi disaat gue ketemu sama dia dalam keadaan seperti itu. Jujur semalaman gue kepikiran hal ini Ndrik." Hendrik yang mendengar hal itu merasa iba. Dia hanya bisa mendengarkan keluh kesah laki laki tang berada di depannya itu. Dalam hatinya dia heran. Sosok yang dari luar terlihat tangguh seperti itu ternyata bisa menjadi lemah hanya karena 1 hal, wanita.
"Gue tanyain ke Linda aja bro dimana si Oliv tinggal. Si Linda kan ketua tingkat Nanti gue kasih kabar lagi secepatnya lewat sms, gimana bro?" jawab Hendrik sambil tersenyum.
"Oke, thanks banget ya bro. Gue nggak tahu kudu minta tolong siapa lagi disini selain elu. Cepat kabarin gue ya?" Matahari pun tenggelam dengan sempurna. Sebuah pemandangan yang indah. Seindah senyuman laki laki tangguh itu yang kini terlihat mulai bisa tenang namun tetap menggantungkan sebuah harapan.
***
Keesokan harinya, Hendrik pun segera menanyakan alamat rumah Liv pada ketua tingkat di kampusnya. Linda. Setelah mendapat alamat itu, dia kemudian mengirim sms pada Riki. Tanpa menunggu keesokan harinya, Riki segera mencari alamat tersebut, malam itu juga.
Jam 7 malam Riki sudah tiba di depan sebuah rumah sederhana Liv. Rumah bercat warna jingga favoritnya dengan banyak pot bunga menghiasi pekarangan rumah itu. Riki pun segera turun dari motornya dan mengetuk pintunya.
"Permisi, " tak ada sahutan. Tak lama kemudian pintu kayu itu dibuka oleh seorang anak kecil yang kira kira berusia 12 tahun.
"Siapa ya? jawab seseorang dari dalam rumah. Ketika pintu dibuka,  dan terlihat sosok laki laki seumuran kakaknya, dia langsung menjawab dengan tebakan anak kecil yang polos. 
"Apa mau mencari mbak oliv?" kata anak kecil itu yang tidak lain adalah adik tiri Liv. Sambil mengunyah permen karet dia mengamati Riki dari ujung kepala sampai ke ujung kaki dengan tatapan heran.
"Iya, mbak olivnya ada?" kata Riki sambil mengikuti gaya bicara anak kecil itu. Dalam hati dia merasa geli dengan kata "Mbak" yang terdengar asing ditelinganya. Juga karena sudah 2 orang yang memanggil Liv dengan panggilan Oliv, yaitu teman nya si Hendrik dan adik Liv sendiri.
"Mbak Oliv sakit. Dia nggak bisa melihat. Dikamar terus nggak mau keluar. Nggak mau makan. Nangis aja kerjaannya. Silahkan masuk. Ngomong sama ibu aja dulu" kata adik Liv sambil menggandeng Riki masuk dan mempersilahkannya duduk. Rumah Liv terlihat begitu sederhana. Hanya ada beberapa perabotan rumah yang memang dibutuhkan untuk hidup keluarga kecil itu. Tiba tiba pandangan Riki berhenti pada sebuah foto yang tergantung di tembok warna kuning itu. Foto Liv dengan seorang gadis berjilbab dan berlatar belakang sebuah pemandangan taman wisata yang terkenal di kota Batu Malang. Dibawah foto itu tertulis "Teman Selamanya". Terlihat mereka berdua tersenyum lepas tanpa beban. Senyum persahabatan.
"Mungkin gadis ini yang bernama Isna" batin Riki sambil tersenyum namun dengan tatapan sayu mengingat apa yang terjadi pada dua sahabat itu. Tak beberapa lama sosok ibu Liv keluar dan sedikit membuat dia terkejut.
"Dengan siapa ya ini?" kata ibu Liv sambil mengulurkan tangannya dan tersenyum hangat. Namun wajah itu tak mampu menyembunyikan kesedihannya.
"Saya Riki, temannya Liv. Bisa saya bertemu dengan Liv dan mengajak dia keluar sebentar? Saya sudah tahu bagaimana keadaanya dia sekarang, tante. Saya hanya ingin berbicara dengan dia. Tak akan lama. Saya janji." kata Riki sambil setengah memohon. Mendengar hal itu ibu Liv diam saja.  Tak ada jawaban. Dia memandangi Riki dengan tatapan sayu. Entah kenapa dia bisa mempercayakan anaknya pada orang yang berada didepannya itu padahal mereka baru saja bertemu.
"Temui Liv sendiri. Tante mengijinkan kok, nak Riki." kata sang ibu kemudian berdiri dan berjalan menuju kamar Liv dan Riki mengikutinya dari belakang.
Suasana kamar yang hangat. Dindingnya berwarna cokelat dengan tirai yang terbuat dari batu kerang kecil kecil dan berhiaskan banyak sekali foto tertempel didindingnya. mulai dari foto foto Liv sendiri, foto dia bersama teman temannya, juga foto band band idolanya Mata Riki pun menjelajahi kamar itu dengan kagum. Melangkah dengan perlahan dan kemudian menemukan sosok yang dia cari meringkuk disamping tempat tidur. Duduk dilantai dengan posisi kaki ditekuk. Rambutnya begitu acak acakan. Ada makanan disampingnya terlihat belum disentuh sama sekali. Handphone yang tergeletak dan sebuah buku yang terlihat seperti buku harian. Karna ingin memastikan lebih dekat, Riki pun maju satu langkah lagi namun kakinya tak sengaja menginjak sebuah pulpen dan membuat Liv terkejut.
"Siapa itu?" refleks berkata itu Liv memundurkan badannya merapat ke arah tembok. Dia berusaha mencari tahu siapa yang datang lewat pendengarannya.

"Liv, ini aku, Riki."
***
Sebuah taman tengah kota malam itu sedikit ramai. Penjual makanan, anak anak dan muda mudi yang sedang  menikmati suasana Malang pada malam hari menjadi latar belakang sosok 2 orang itu yang sedang duduk di bangku panjang menghadap jalan raya. Mereka saling menutup mulut. Hanya sesekali terdengar tarikan nafas berat mereka.
"Kau kedinginan? Apa mau aku pakaikan jaket ku ini?" kata Riki sambil melepas jaketnya kemudian memakaikannya pada Liv. Gadis itu masih diam saja.
"Riki.. Apakah malam ini banyak bintang di atas sana?" Liv pun mulai membuka mulut. Dia mendongak keatas. Tak ada yang berubah. Masih tetap gelap.
"Umm, tidak banyak. Hari ini sedikit mendung liv. Bulannya juga masih bersembunyi. Dia malu karena ada yang lebih cantik dari dia malam ini" jawab Riki sambil sedikit tersenyum. Dalam hati dia merasa senang karena akhirnya Liv pun berani membuka percakapan.
"Ingat tidak ketika kita melihat bintang bersama meski di tempat yg berbeda?" tanya Liv tiba tiba. Sebuah senyuman tersungging di bibir tipisnya. Manis sekali.
"Ingat donk. Waktu itu kamu marah sama aku gara gara aku salah lihat arahnya, hehehe" jawab Riki sambil tertawa. Suasana mencair dengan sempurna. "Terima kasih Tuhan" batinnya dalam hati. 
"Aku gak akan pernah lupa sama kejadian itu, putri tidur" lanjut riki. Kemudian mereka berdua terdiam sesaat. Membiarkan ingatan ingatan itu menjelajahi fikiran mereka, lagi.
"Dan juga, apa kau masih ingat ketika kita bertemu pertama kali? Jangan bilang kau lupa  bagian itu, kepala kentang" lanjut Liv lagi sambil sedikit manyun. Namun setelah itu dia tertawa kecil sehingga membuat Riki sangat bahagia.
"Hahaha, iya, aku masih ingat kok. Aku gak pernah berhenti mengamatimu, dan ketika kamu tahu aku mengamatimu, kau memukulku dengan manja, dan berkata, "Hentikan, aku malu" ya kan?" jawab Riki sambil tersenyum. Kenangan itu kini menguasai fikiran mereka dengan bebas. Kemudian Liv menunduk. Haru. 
"Iya Rik, aku ingat jelas peristiwa itu. Mmm, apakah sampai sekarang kau masih melakukan hal itu? maksudku, mengamatiku lagi?". Mendengar itu, Riki menoleh kearah Liv. Mengamatinya lagi. Tampak jelas perubahan gadis itu. Namun sinar matanya tetap tidak pernah berubah. Riki pun menjawab pelan pertanyaan Liv sambil mengusap pipi gadis itu.
"Aku tidak akan berhenti melakukan itu meskipun kau berkata Hentikan, Liv"
Ada haru ketika dia mendengar hal itu. Dadanya sesak. Ingin sekali dia bisa melihat bagaimana ekspresi laki laki itu ketika dia mengusap pipinya, untuk kedua kalinya. Namun sia sia. Riki yang mengetahui hal itu, mengusap pipinya sekali lagi. Mengusap sudut matanya sambil berbisik lirih "Jangan menangis putri tidur"
"Seperti apa dunia yang kini kau lihat sekarang Riki? Apa masih tetap seindah saat aku juga masih bisa melihat dulu? Ataukah semakin menjadi indah seolah menghina aku yang tidak bisa melihat seperti saat ini?" tanya Liv sambil menyandarkan kepalanya pada Riki. Semuanya berat. Untuk sekali saja dia ingin ada yang menopang beban itu. Dia ingin sedikit merasa ringan. Dia lelah.
"Dunia ini masih sangat indah, ketika orang terindah itu bahagia, tersenyum, ceria, dan tak pernah putus asa menghadapi takdirnya, Tapi adakalanya dunia ini menjadi buruk, menyedihkan. Yaitu ketika orang terindah itu bersedih, menangis, dan merasa bahwa dirinya hidup dalam keadaan yang buruk. Jangan pernah bersedih agar dunia ini tetap indah bagi semua orang. Jangan pernah takut menghadapi semuanya sendiri. Aku disini. Tanpa kau minta pun aku selalu bersedia menjadi mata mu. Akan aku ceritakan semua yang aku lihat agar kau tak pernah merasa kehilangan penglihatanmu.." jawab Riki sambil mengenggam erat tangan Liv. Mencoba menghangatkan suasana malam itu. Meski pada akhirnya mereka berpisah. Tak ada perlawanan dari Liv. Dia rindu suasana itu. Dia rindu semuanya ketika mereka bersama.
"Aku akan kembali ke Kalimantan Liv. Maaf aku meninggalkanmu lagi. Tunggu, jangan marah, kau harus mengerti. Aku pergi bukan untuk menjauhimu karena tahu keadaanmu. Hanya sementara. Aku akan kembali menemuimu. Kau harus bertahan buat aku." kata Riki sambil menepuk pelan bahu Liv. Mendengar itu ada sedikit kekecawaan tersirat di wajah sayu Liv. Namun dia tetap memilih diam.
"Pergilah Rik. Kejar impianmu. Lakukan tugasmu. Jadilah laki laki yang tangguh." kata Liv kemudian beranjak berdiri.
"Antar aku pulang Rik" kata Liv pada Riki. Kemudian mereka kembali pulang. Selepas itu ada sedikit perasaan tidak enak yang membayangi Riki sepanjang malam itu. Namun dia harus pergi. Sementara itu di sudut lain, terlihat Liv berbaring di tempat tidurnya sambil memandangi langit langit kamarnya. "Dia akan pergi. Dia akan sukses. Harus itu. Dan aku akan mati. Tak lama lagi.."
*** 
"Bagaimana keadaan kamu nak?," sapa hangat sang ibu kepada Liv yang terlihat sayu di pojok tempat tidurnya. Liv yang sedang tertunduk lesu mencoba mengangkat sedikit kepalanya.
"Entahlah bu. Aku lelah. Aku ingin mengakhiri semuanyaa" jawab Liv sambil bersandar pada Ibunya. Kali ini dia tidak menangis. Namun dari wajahnya dia terlihat datar.
"Jangan berkata seperti itu Liv. Jangan tinggalkan Ibu. Tapi Ibu juga tidak tahu harus bagaimana lagi sekarang.."
"Liv nggak pernah menyalahkan Ibu, justru Liv sedih karena Liv semakin membebani Ibu dengan penyakit ini.." Jawab Liv sambil mengusap lembut pipi sang Ibu. Tak lama kemudian handphone Liv berbunyi. Kemudian mengangkat teleponnya.
"Halo?"
"Halo, benar ini dengan Olivia?" suara dari seberang telepon. Liv yang mendengar hal itu sedikit menaikkan alisnya.
"Ya, dengan siapa ini?" jawab liv sedikit pelan.
"Ternyata benar. Syukurlah. Hai, apa kau masih mengenal aku? Ari, laki laki yang mengantarmu pulang dari toko kaset 4 bulan yang lalu" suara dari seberang sana terlihat bersemangat sekali.
"Oh yaa, aku ingat, hei bukankah aku tidak pernah memberikanmu nomor handphone ku?" tanya Liv heran.
"Mmm, aku mencari tahu informasi tentang dirimu. Bagaimana keadaanmu?" Suara laki laki tersebut terdengar dipelankan. Namun tak ada jawaban langsung dari Liv.
"Aku, baik baik saja Ari" bohong liv dengan setengah menunduk. Pembicaraan hangat itu berakhir dengan kabar baik. Tak ada yang harus disembunyikan pada laki laki sebaik Ari, pikir Liv. Dan akhirnya laki laki yang bernama Ari dia akan menjadi mata Liv selama Riki tak ada.
***
Tanpa terasa waktu berjalan sudah satu tahun. Mereka berdua sudah terlihat sangat akrab, ya tentu saja, Liv dan Ari.  Setiap hari selepas senja, Ari menyempatkan dirinya untuk berkunjung ke rumah Liv. Membawakan apapun. Terkadang makanan, boneka, maupun cerita cerita tentang dunia luar. Ari sekarang pun tahu tentang apa saja kesukaan dan yang tidak Liv sukai. Semua itu membuat Liv lupa dengan matanya. Dia tak secengeng dulu. Dia  sudah bisa menerima takdirnya kehilangan penglihatannya. Sampai pada akhirnya dia harus menerima satu kenyataan pahit, lagi.
"Mau sampai kapan kau menemani gadis buta itu dan melupakan rencana pernikahan kita?" suara itu membangunkan lamunan Ari. Dia menoleh kebelakang.
"Dara? Sejak kapan kau disini? Sudah aku bilang jangan masuk kamarku  dengan seenaknya" bentak Ari kemudian turun dari ranjangnya. Menyeret tangan wanita yang bernama Dara itu dengan sedikit kasar.
"Lepaskan! Kau terlalu sibuk memikirkan gadis itu sampai tak tahu kedatanganku. Ayo kita kembali ke lampung dan melaksanakan pernikahan kita disana." jawab Dara sambil menatap lurus kearah Ari. Ari memperhatikan wanita yang berdiri didepannya itu dengan seksama. Tak ada yang berubah. Wajah tegasnya dan pakaian yang ia pakai. Minim.
"Aku masih ada urusan disini. Dan bukankah aku belum pernah berkata aku setuju dengan pernikahan kita?"
"Oh ya? Urusan apa? Menemani gadis buta itu? Dan sekarang kau benar benar menjadi buta juga. Jelas jelas didepanmu ini ada wanita yang lebih sempurna dibandingkan gadis  buta yang miskin itu kau malah memilih dia? Ari, aku sudah tahu semuanya. Kegiatanmu bersama gadis itu pun aku sudah tahu. Jangan bilang kau lupa siapa aku? Siapa Dara?"
"Hentikan Dara. Kau tak berhak menghujatnya seperti itu. Ocehan panjangmu membuatku muak. Kau tak pernah berubah"
"Tinggalkan gadis itu dan nikahi aku secepatnya. Ingat Ari. Keluargamu punya hutang budi pada keluargaku. Ku rasa aku tak perlu mengingatkan itu lagi.." jawab Dara sambil berlalu meninggalkan Ari sendiri yang bersandar pada pintu kamarnya. Dia terlihat bingung.

"Haruskah aku berkata sejujurnya pada Liv?"
***
"Liv" sapa Ari kemudian duduk disebelah Liv. Sore itu mereka berdua berada di teras gereja seusai pemujaan. Menunggu hujan reda.
"Iya Ari. Ada apa?" Jawab Liv sambil meluruskan kakinya. Dia mencoba menoleh kearah suara Ari berasal. Ari memandang wajahnya yang polos. Terbesit rasa bersalah yang sangat mendalam.
"Aku.. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu.. Aku akan kembali ke lampung"
Sebelum Ari selesai melanjutkan pembicaraannya, dari ujung jalan terlihat sosok wanita dengan pakaian mencolok yang berjalan cepat menuju kearah mereka. Dara.
"Oh, jadi ini gadis buta yang perlu dikasihani?! Iya, kelihatan dari penampilannya" Dara menarik Liv untuk berdiri, sementara Liv yang tak tahu apa apa hanya berdiri ketakutan dan berbisik lirih.
"Kamu .. Siapa?"
"Hentikan Dara. Kau seperti anak kecil. Harusnya kau biarkan aku menyelesaikan semuanya sendiri, bukan seperti ini. Liv, maafkan dia ya?" kata Ari dengan ekspresi sedih sambil menarik Liv ke arahnya. Namun tangan itu dengan mudah dicengkeram oleh Dara.
"Gue Dara, Calon istrinya Ari. Dan kami akan menikah bulan depan. Gue minta elu jauhin calon suami gue. " kata kata terakhir Dara membuat Liv meneteskan air matanya untuk yang pertama kalinya lagi. Dadanya sakit. "Ucapan wanita itu, benarkah? Mengapa Ari tidak bilang dia akan menikah? Mengapa sejauh ini Ari sangat baik padaku dan aku .. Aku jatuh cinta padanya.. Aku sungguh bodoh.." Batin Liv dalam hati. Dia berusaha menahan tangisnya.
Sunyi. Tak ada suara lagi. Mereka telah pergi. Hanya suara kecil hujan yang turun semakin deras. Meninggalkan bekas luka mendalam dihati Liv.
"Rasanya sakit.. Aku sudah tak kuat lagi.. Kenapa semua ini harus terjadi padaku.." Tangannya menggenggam erat rosario yang ada disakunya. Rosario pemberian Riki.

29/07/12

Eyes (Dua)

Pagi itu Liv bangun dengan keadaan buruk. Wajahnya pucat. Dahinya bercucuran keringat. Dan dia tidak berhenti mengucek matanya yang dari luar terlihat baik baik saja.
"Oh Tuhan, ada apa ini, mengapa pandanganku memburam?" bisik Liv ketakutan. Dia bangun dari tempat tidurnya. Berjalan menuju meja riasnya sambil meraba raba sekitarnya untuk mencari kacamatanya.
"Ibuu," panggil Liv lirih. Bibirnya gemetar. Dia ketakutan. Dia tak bisa menemukan kacamatanya, Kepalanya berputar. Pandangannya semakin memburam.  Semuanya menjadi gelap.

***
Rumah sakit Lavalette malang siang itu nampak ramai. Beberapa orang terlihat mengantri  di loket pendaftaran sedangkan yang lainnya hilir mudik keluar masuk rumah sakit.
"Bagaimana keadaan Liv, dokter?" tanya seorang ibu yang tak lain adalah ibu Liv pada seorang dokter muda yang baru keluar dari kamar memeriksa Liv.
"Saya kira penyakit matanya mulai menjalar dengan cepat. Apa Liv sering menangis atau mengeluh tentang matanya pada ibu? Tanya dokter sambil berjalan menuju ruangannya.
"Saya tidak tahu dokter, setahu saya dia tidak pernah terlihat menangis dan mengeluh pada saya tentang kondisi matanya. Atau kah dia menyembunyikan semuanya dokter?" tanya ibu Liv dengan nada cemas. Pandangannya lurus kearah dokter itu yang sedari tadi membolak balik data kesehatan Liv.
"Kita tunggu saja ketika Liv sadar, bu. Semoga dia tidak apa apa" kata dokter sambil berusaha menenangkan ibu Liv yang sedari tadi tampak gelisah.
***
1 minggu sudah Liv berada di rumah sakit tersebut. Hari ini dia akan pulang. karena Keadaanya sudah membaik. Tetapi pandangan matanya berbeda. Semakin kosong. Tubuhnya pun sedikit lebih kurus. Terlihat dari jauh nampak seperti orang yang berusaha untuk tidak menangisi kedaannya.
"Kau sudah tidak apa apa nak?" suara lembut itu membangunkan Liv dari lamunannya. Menghapus  air mata yang hampir jatuh dan segera memperbaiki posisi duduknya.
"Ah, Ibu, kapan datang? Bikin kaget saja. Liv sudah lebih baik bu," jawab Liv kemudian berdiri, memeluk ibunya. Ada rasa sesak saat dia melakukan itu. Tetapi dia berusaha kuat.
"Ayo pulang nak. Kalau terus disini berarti harus membayar lagi" Canda Ibu sambil memukul pelan lengan Liv. Keduanya pun kemudian tersenyum.
"Maafkan Liv ya bu, Liv masih saja bikin repot Ibu.." Kata Liv dengan ekspresi sedih sambil menggandeng tangan ibunya menyosori lorong rumah sakit. Ibunya yang mendengar itu, tersenyum tulus, sambil semakin menggenggam erat tangan putri pertamanya itu.
"Tidak apa, asal kau janji untuk berusaha sembuh, jangan sembunyikan semuanya dari Ibu, katanya tak ingin merepotkan ibu lagi.."
"Liv janji bu.."
Mereka berdua pun menuju rumah. Berjalan berdampingan sebagai ibu dan anak. Memiliki harapan sendiri dalam batin masing masing.
***
Suasana Malang Tempoe Doeloe pagi itu terlihat ramai. Banyak mahasiswa dari kampus Liv yang berbondong bondong kesana. Termasuk Liv dan Tika.
"Liv, gimana keadaanmu sekarang? Sudah baikan kah?" tanya Tika sambil menyodorkan  kembang gula kearah Liv. Liv yang sedari tadi sibuk ketawa ketiwi sendiri dengan hapenya karena sedang ber-Smsan ria dengan Riki pun menjawab dengan sedikit tidak konsentrasi.
"Hah? Kau tanya apa tadi Tika?"
"Gimana keadaanmu? Kamu lagi apa sih sampai aku kasih ini nggak mau malah ketawa sendiri sama hape" jawab Tika manyun. Kemudian berbalik membelakangi Liv.
"Yee, ngambek nih. Cepet tua lo. Nanti mas Jojo gak naksir lagi gimana? Hahaha. Maaf ya Tika, ini lagi sms sm Riki. Jadi lupa deh sama kamu. Maaf yaa?" jawab Liv sambil membalikkan badan Tika. Tersenyum manja yang selalu menjadi jurus andalannya sambil memeluknya.
"Uuuh, selalu saja mengeluarkan jurus maut. Iya iya nggak apa. Eh ngomong ngomong, Riki itu siapa Liv?" Kata Tika sambil sedikit menggeser sedikit posisi duduknya. Mencoba mengintip apa yang ada dilayar hape Liv namun Liv sudah sigap menyembunyikannya.
"Nggak boleh tahu. Hahaha. Dia teman. Yaa, dulunya sih pernah pacaran. Dia seorang marinir lo. Keren kan?" kata Liv sambil mendongak kearah Tika. Kemudian memandang lurus kedepan dengan pandangan yang berbeda.
"Hah? Marinir? Kok kamu nggak pernah cerita Liv? Terus kenapa putus? Sekarang dimana dia?" tanya Tika sambil memasang wajah serius kearah Liv. Tapi Liv tetap memandang lurus kedepan dan berkata pada Tika tanpa menoleh.
"Terakhir bertemu, bulan desember kemarin. Dia tampak berubah. Terlihat lebih gagah. Tapi, sudahlah.." jawab Liv dengan bangga sambil menarik nafas panjang. Tetapi raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan kesedihannya jika dia mengingat kenangannya dengan laki laki itu.
"Yuk jalan lagi, Tika"
Liv melangkah cepat dan berharap dia juga bisa secepatnya melupakan kenangan itu. Tika yang berada dibelakangnya pun berlari mengejarnya dengan mulut penuh dengan kembang gula. Ada rasa bangga, senang, dan juga rasa sedih yang amat mendalam ketika dia mengingat itu. Bangga karena memiliki laki laki sebaik dia. Senang karena dia masih bisa ada kesempatan untuk bertemu. Dan sedih jika dia ingat ketika dia memutuskan laki laki itu demi orang lain. Entah apakah dalam hati laki laki itu benar benar tulus tanpa ada dendam pada Liv ataukah dia masih menyimpan luka lama itu namun tak pernah ia tunjukkan. Entahlah.
***
"Hei putri tidur, sudah tahu belum kalau Symfonia merilis album baru. Pasti belum punya kan? Taruhan deh, kamu bisa dapetin enggak? Hahaha. Jangan pinjam punyaku. Titik"  Sebuah pesan singkat dari Riki itu membuat hati Liv girang. Sebenarnya bukan dari Rikinya yang mebuat dia senang, tetapi band favoritnya telah merilis album baru dan itu sudah ada di kotanya. Dengan kebingungan dia melangkah kearah kamar mandi. Membersihkan badannya yang lengket karena berkebun tadi sore dengan adiknya, kemudian bergegas menuju toko kaset yang ada di ujung jalan untuk membeli kasetnya.
Dengan kaos lengan panjang warna kuning kesukaannya dan celana jeans selutut Liv pun segera bersiap berangkat.
"Mau pergi kemana Liv? Kacamatanya enggak dipakai?" tanya ibu sambil menghidangkan makan malam. Kemudian memperhatikan Liv dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan tatapan heran.
"Mau ke toko kaset sebentar ibu, nggak apa kok, Liv masih bisa melihat. Berangkat dulu ya bu.." Kata Liv sambil berlalu.
Sepanjang perjalanan ke toko kaset dia tersenyum sendiri. Membayangkan dirinya memamerkan kaset band idolanya pada Riki sambil memasang wajah jail. Sesekali  dia terlihat menyilangkan tangannya karena udara malang malam itu sangat dingin. Suasana toko kaset itu ramai pengunjung, Dari kejauhan sudah terdengar alunan musik metal yang sedikit mengganggu telinga bagi yang tidak terbiasa mendengarkannya.
"Waah, harus cepat nih.." gumam Liv sambil berlari masuk. Setibanya disana, dia menghentikan langkahnya refleks. Wajahnya memucat. Pandangannya tiba tiba memburam.
"Oh Tuhan, tidak, jangan sekarang Tuhan.. Bagaimana ini .." Liv pun tetap bersikap seolah tidak terjadi apa apa pada dirinya. Tetapi tangannya bergerak meraba raba tembok sekitarnya.
"Oh Tuhan, mataku.." Liv tetap meraba. Berusaha menahan tangis yang sedari tadi menumpuk di kelopak matanya. Tanpa sadar dia menabrak seseorang.
"Maaf.. Maafkan aku" kata Liv sambil berusaha melihat orang yang dia tabrak. Laki laki yang sama yang dia lihat diperpustakaan waktu itu. Namun karena dia tak bisa melihat dengan jelas, dia tidak mengenalinya.
"Tak apa. Kenapa kamu? Ada masalah? Eh, sepertinya aku pernah melihatmu, tapi dimana yaa?.. Eh tunggu dulu. Kenapa meraba raba seperti itu? Kau.. Tidak bisa melihat ya?" kata laki laki itu sambil melihat Liv. Memperhatikan pandangan matanya. Mengarahkan tangannya ke arah Liv. Namun gadis yang dia ajak bicara tetap diam dengan ekspresi ketakutan.
"Hei hei, tenanglah, aku orang baik. Ada yang bisa ku bantu?" kata laki laki itu sambil menggandeng lengan Liv. Menuntunnya ke seberang toko agar aman. Liv pun tidak menolak.
"Aku.. Aku hanya ingin mencari kaset dan kemudian pulang. Tapi aku tidak bisa melihat sekarang.." kata Liv gemetar sambil melihat kesekitarnya yang buram. Mengerjapkan matanya dengan harapan dia bisa melihat lagi. Namun itu sia sia. Dia tetap masih tak bisa melihat.
"Oke oke. Kau mencari kaset apa? Biar aku yang mencarinya. Kau tunggu disini saja." Kata laki laki itu kemudian masuk kedalam toko setelah Liv memberi tahu dia. 7 menit kemudian dia kembali dengan kaset titipan Liv terbungkus plastik warna hitam. Liv yang duduk lemas dibangku panjang sebelah toko itu terlihat sedikit lebih tenang.
"Ini milikmu. Ada bonus posternya juga." Kata laki laki itu sambil menyerahkan tas plastik itu kemudian duduk disebelah Liv. Untuk beberapa saat mereka terdiam.
"Terima kasih banyak.. Sungguh aku tidak tahu bagaimana aku jika tidak bertemu denganmu.." kata Liv sambil menoleh kearah laki laki itu berharap dia bisa melihat sedikit saja wajah laki laki itu dengan jelas. Tetap saja masih buram.
"Ya, sama sama. kau tak ingin pulang sekarang? Aku takut kau semakin memburuk. Dan ini juga sudah malam. Eh, dimana rumahmu, akan aku antarkan kau sekalian.." Laki laki itu berdiri. Mengajak Liv berdiri juga kemudian menuntunnya kearah motornya yang diparkir didepan toko.
"Sekali lagi terima kasih banyak.. Aku Liv. Olivia Audrey" kata Liv sambil mengulurkan tangannya yang disambut hangat tangan laki laki itu.
"Aku Ari. Senang berkenalan denganmu. Ayo aku antar pulang."
Mereka menembus gelap dan dinginnya malam di kota malang dengan motor bebek. Berusaha mencerna kejadian yang terjadi malam itu

25/07/12

Eyes (Satu)

"Liv, tunggu.." Seru seorang gadis dengan setengah berteriak pada temannya yang ia panggil Liv. Tapi gadis yang bernama Liv itu tetap saja melangkah sambil sesekali melihat layar handphonenya.
 "Wahh, bakal telat nih aku" gumamnya dalam hati. Sambil mempercepat langkah kakinya, temannya yang sedari tadi berlari kearahnya pun menepuk dari belakang. 
"Berhenti. Sini duduk. Ampun dah Liv, aku panggil dari tadi juga ngga berhenti malah makin cepet aja jalannya.." gerutu gadis itu sambil merapikan rambutnya yang acak - acakan terkena angin.
"Maaf Tika, hari ini aku ada janji sama adik buat belikan dia jaket, jadinya buru buru pulang deh, nih minum dulu" balasnya pada gadis yang bernama Tika sambil menahan tawa, kemudian menyodorkan sebotol air mineral yang ia keluarkan dari tasnya.
"Yah tapi kan kamu bisa berhenti sebentar Liv, nggak kasihan apa, aku ini punya sesak nafas lo.." jawab tika sambil menggerutu. Kemudian dia meminum air mineral itu. Liv hanya cekikikan melihat tingkah laku teman akrabnya itu sambil meluruskan kakinya. Pandangannya lurus kedepan, menerawang jauh melewati pohon pohon yang menghiasi pekarangan kampusnya. Lamunannya pun tersadar ketika handphone yang sedari tadi ia genggam bergetar. 1 pesan masuk.
"Cepat pulang kak, jangan lupa janjinya".  
Dia tidak membalas pesan itu, memencet tombol keluar, kemudian bergumam pelan sambil tetap memandang lutus kedepan, 
"Kalau saja masih ada sisa uang, pasti aku belikan jaketnya pakai uangku. Ngga harus pakai uangnya sendiri. Kakak macam apa aku ini". Tika yang mendengar gumaman itu meskipun samar samar langsung menghentikan kegiatan membaca bukunya.
"Kenapa lagi Liv? Muka kamu keruh banget?" tanya Tika sambil melepas kacamata bacanya. Liv yang ditanya pun segera memperbaiki ekspresi wajahnya seolah olah tidak terjadi apa apa. Dia tidak ingin membuat sahabatnya itu khawatir.
"Enggak ada apa apa kok, cuman masalah kecil aja. Jangan khawatir Tika," sambil berusaha tersenyum kearah temannya itu. Kemudian memandang lurus kedepan lagi.
"Aku tahu, kau pasti ada masalah. Kalau kau mau kau bisa cerita padaku.Mungkin yang bisa bantu cuman sedikit, tapi setidaknya kau bisa lega setelah bercerita.." sambil menepuk bahu Liv yang tetap memandang lurus kedepan. Liv menoleh, dan tersenyum,
"Terima kasih banyak Tika, tapi aku ngga papa kok.." jawab Liv sambil berdiri. "Kita pulang yuk? adikku sudah menunggu dirumah". Mereka pun berjalan beriringan dengan pikirannya masing masing. Sedikit harapan lirih yang keluar dari bibir tipis Liv, menutup semua yang terjadi sore itu.
"Lancarkanlah rizki hambaMu ini Tuhan, selalu.."
***
Minggu pagi yang dingin memaksa Liv untuk bangun. Ada hal yang harus ia kerjakan sebagai seorang Mahasiswi semester 4 di sebuah perguruan tinggi swasta terkenal di kota Malang.
"Seharusnya hari ini aku masih terbaring di ranjang, huh, merepotkan sekali ternyata menjadi mahasiswa" gerutu Liv dalam hati sambil berjalan cepat. Hari ini Ia akan pergi ke perpustakaan kota Malang untuk menyelesaikan tugas yang seharusnya sudah Ia kumpulkan seminggu yang lalu. Namun karena dia pemalas, tugasnya pun menjadi terbengkalai.
Perpustakaan itu terlihat sepi pengunjung. Hanya ada sedikit orang di sisi kanan perpustakan yang sedang membuka dagangannya, mencoba mengais rizki Tuhan meski mereka sering mendapat hardikan dari penjaga perpustakaan kalau dilarang berjualan disekitar area itu. Liv melangkahkan kakinya menuju lantai 1. Menyusuri koridor panjang rak rak buku yang menyajikan buku buku tentang astronomi. Dia pun berhenti tepat dimana dia menemukan sebuah buku yang menjadi tujuannya datang ke perpustakan itu. Menyusuri kembali lorong perpustakan kemudian duduk di tempat yang sudah disediakan bagi pengunjung.
"Hmm, aku rasa kepalaku akan sakit membaca ini semua. Dan mataku akan semakin buram juga. Tebal sekal buku ini" gumamnya sambil membolak balik halaman buku. Membaca sepintas kemudian di balik ke halaman selanjutnya. Sampai akhirnya konsentrasinya buyar akibat suara berisik seorang laki laki yang sedang menerima telepon namun tangan dan pandangannya mengelilingi rak buku.
"Hei, aku sedang keluar bersama teman temanku. Ya, itu, jalan jalan, kau harus mengerti, aku baru saja sampai setelah perjalanan jauh dari Lampung. Biarkan aku bersenang senang sebentar saja" bohong laki laki itu pada orang diseberang sana yg menelponnya. Liv memperhatikan orang itu dengan seksama. Ada sedikit rasa kesal di hatinya karena berani beraninya laki laki itu membuat gaduh di perpustakan.
"Baiklah baiklah, aku akan pulang menjemputmu. Oke. Dah." dia mengakhiri pembicaraannya dengan kesal. Menaruh kembali handphonenya kedalam saku celananya kemudian melanjutkan lagi mencari bukunya. Merasa ada yang memperhatikannya, dia menoleh kearah Liv yang kebetulan hanya dia saja orang diperpustakaan itu dan sekaligus memandangnya dengan tatapan jengkel. Liv yang sadar bahwa laki laki itu memandang heran kearahnya, kembali melanjutkan membaca bukunya juga sambil menggerutu "Orang yang tidak tahu sopan santun"

Tanpa dia sadari, perpustakaan itu menjadi tempat pertama dia bertemu dengan laki laki yang suatu hari nanti merubah dirinya.
Setelah menghabiskan waktu 4 jam di perpustakaan, Liv pun segera pulang. Dalam perjalanan pulang dia berhenti disebuah kios makanan. Pandangannya pun tertuju pada bakso bakar khas Malang.
"Wah, mungkin aku harus mengisi perut terlebih dulu sebelum pulang. Sudah lama nggak mencicipi makanan ini" kata Liv kegirangan setelah memesan seporsi bakso bakar dan es degan kesukaannya. Sejurus kemudian dia mengambil tempat duduk yang menghadap langsung kearah jalan raya. Suasana kota malang sore itu terlihat sepi. Membuat Liv melamun teringat akan peristiwa 5 tahun yang lalu. Sebuah tragedi yang membuat penglihatannya melemah. Yang membuatnya takut ketika berkendara sendirian di jalanan dan membuatnya trauma dengan benda yang bernama mobil. Bayangan sahabatnya yang bercucuran darah yang terpental 10 km darinya pun membuat dia refleks menutup mukanya ketika mengingat peristiwa itu.
"Maafkan aku Isna, aku sungguh menyesal. Apa kau tenang disana, saudariku?" gumam Liv lirih dan tanpa sadar matanya berair. Menyadari itu dia cepat cepat menghapus airmatanya. "Jangan menangis Liv." katanya dalam hati. Dia mencoba menghibur dirinya sendiri dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak menangis bagaimana pun keadaanya. Dia harus tahu, kini dia sendirian. Tidak ada yang mengingatkannya lagi untuk tidak menangis. Sahabatnya yang bernama Isna, yang selalu bersama dia sudah meninggal akibat kejadian itu. Tinggalah dia sendiri yang harus tetap bertahan meski dengan keterbatasan penglihatan.
*** 
Rabu, 1 Desember 1998. Kalender pada tanggal itu terlihat berbeda dengan tanggal lainnya. Ada lingkaran merah disana. Dan ada catatan kecil ditulis dengan tinta warna jingga, warna kesukaan Liv. Hari ini dia akan bertemu dengan seseorang di sebuah gereja yang terletak di sudut kota malang. Namanya Riki. Seorang laki laki yang tak pernah membuat dia bersedih selama mereka berteman. Seorang yang sudah dikenal Liv dalam dan luarnya. Seorang laki laki tangguh yang sedikit kasar jika dia sedang marah. Dan seorang yang pernah membahagiakan Liv meski hanya 2 bulan saja. Ingatan itu masih jelas dalam otak Liv.
Jam tangan Liv menunjukkan pukul 11 siang namun matahari di kota malang masih saja belum bisa menghangatkan suasana hatinya saat itu. Dadanya berdetak kencang, tangannya dingin. "Sudah hampir 1 setengah tahun aku tidak bertemu denganmu Rik. Seperti apa kamu sekarang? hmm" gumam Liv sambil mengutak atik handphonenya, membuka galeri fotonya dan melihat 1 gambar foto dirinya dengan seorang laki laki berseragam militer. Mereka tersenyum bersama tetapi dengan jarak sedikit berjauhan. Foto itu diambil di tempat kerja Liv. Dia sengaja menemui Liv yang waktu itu masih bekerja sekaligus dia ingin berpamitan karena tugasnya yang mengharuskan mereka berpisah sementara waktu.
Lima belas menit pun berlalu, namun sosok yang Liv tunggu belum juga tampak batang hidungnya. Liv yang mulai bosan pun beranjak dari tempat duduknya, berjalan jalan mengitari halaman gereja itu. Tak jauh dari tempat dia berdiri, kemudian muncullah sosok yang dia tunggu. Sosok laki laki berbadan tegap, berseragam militer lengkap dengan tas ransel besar dipunggungnya. Tanpa sadar Liv mengamati laki laki itu tanpa berkedip.
"Riki .."
Mereka bertemu. Pertemuan kedua mereka. Untuk beberapa saat mereka saling memandang. Saling melemparkan senyum. Dan berbicara pada hati masing masing.
"Mengapa kau memandangku seperti itu? Apa kau malu bertemu dengan seseorang dengan kostum militer seperti ini hah?" tanya Riki sedikit kesal karena Liv memandanginya dengan tatapan aneh. Kemudian dia duduk dibangku panjang dekat pohon cemara di ujung gereja.
"Hei, bukan itu maksudku, maaf ya, aku hanya sedikit terkejut melihat dirimu," jawab Liv dengan nada takut. Tak ada jawaban. Ekspresi kecewa Riki tadi semakin membuatnya menyesal telah mengatakan hal itu.

"Maafkan aku Rik," sesal Liv sambil menunduk. Laki laki yang berada didepannya pun  berganti memandanginya. Mengamati sambil mengangguk anggukan kepalanya sendiri.
"Berhenti memandangiku seperti itu Rik, aku malu, ya, aku salah, maafkan aku.." kata Liv sambil menunduk. Mengayun ayunkan kakinya sambil melihat kebawah.
"Hahaha, hei hei Olivia Audrey, apa kau sudah melupakan aku? Mana mungkin aku marah di hari yang istimewa ini hanya gara gara kamu memandangku dengan tatapan aneh?" celoteh Riki sambil mengacak acak rambut ikal Liv. Mendengar hal itu wajah sumringah Liv pun kembali. Sambil memukul Riki dengan manja Liv pun menjawab
"Uuhh, dasar Riki si kepala kentang jahil banget. Ya ampun kau terlihat sangat buruk. Semakin kurus dan hitam, hahaha" ejek Liv sejurus kemudian dia bangun untuk menghindar dari serangan Riki.
"Hei dasar putri tidur kurang ajar, jangan lari.." teriak Riki sambil menahan geli melihat tingkah gadis yang didepannya itu.
"Ayo kejar aku pak marinir, hahahaha" Liv pun berlari meninggalkan Riki yang tersenyum sendirian. Pertemuan itu merupakan hal yang paling mereka tunggu selama satu tahun ini. Ketika pertama mereka bertemu sebagai sepasang kekasih dan akhirnya mereka terpisah karena pekerjaan, dan kini mereka bertemu kembali karena rindu yang sama di hati mereka namun bukan sebagai sepasang kekasih lagi.

23/07/12

Eyes (Prolog)

Ketika takdir Tuhan telah ditetapkan. Ketika matanya benar - benar hilang. Ketika penyemangat hidupnya pergi merangkai lembaran hidup barunya. Ketika tak ada lagi yang bisa dia percaya untuk sebuah kata "Cinta"
Gadis itu merutuk nasibnya, menyia-nyiakan sisa hidupnya, dan tanpa rasa bersalah dia memohon, "Percepat kematianku Tuhan.."
Dan kemudian hari Gadis Buta itu tinggalah sebuah nama di atas nisan..