08/12/13

Surga

Pyar..!!
Sekali lagi kaca jendela itu pecah terkena lemparan batu di subuh yang sama. Seisi rumah pun segera berlari melihat keadaan diluar. Aku segera menyusul sambil masih menggunakan mukenah karena baru selesai melaksanakan sholat subuh.
"Ini masih jam empat pagi. Beruntung tak mengenai keningmu lagi nduk.." aku mendengar ibu bergumam pelan. Sembari membersihkan pecahan kaca, aku membantu sebisaku.

"Maafkan Luna, bu," aku berusaha tak menangis. Namun tetesan air mataku tetap saja masih terlihat di mata ibu.
"Sudah cah ayu, jangan dipikirkan. Nanti bayi dalam kandunganmu ikutan sedih. Jaga kandunganmu ya nduk?" kata ibu sambil membelai tanganku. Hangat sekali. Aku menangis dalam dekapannya.

***

Setiap hari aku menghabiskan waktuku berdiam diri dirumah. Aku terlalu takut menghadapi dunia luar yang seolah mereka semua tak pernah kehabisan bahan ejekan yang selalu mereka lontarkan pada diriku. Seringkali aku masih bisa mendengar perkataan mereka dari dalam kamarku, bahwa aku, pezinah, tak pantas ada di sini. Aku hanya membawa kesialan. Dan aku mengandung anak haram. Ingin rasanya aku keluar dan mengatakan pada mereka sekeras mungkin bahwa mereka semua salah. Mereka tak tahu apa apa tentang aku, dan bayi dalam kandunganku ini. Dan pada akhirnya, aku selalu teringat pada laki laki itu. Laki laki yang dulunya selalu berkata bahwa dia tak akan meninggalkanku apapun yang terjadi. Yang selalu berkata bahwa dia sangat mencintaiku dan akan melakukan segalanya buatku. Tapi sekarang semuanya sudah tak ada artinya lagi. Dia pergi. Tanpa mau tahu keadaanku, juga anaknya yang ada dalam kandunganku. 


***

"Halo.." aku mengangkat telepon dengan suara sesenggukan. Mengatur nafas sambil berpura pura seolah olah tak terjadi apa apa. Tapi ternyata gagal.
"Sudah aku duga. Ada apa disana?" suara Gian dari seberang membuatku melemah. Tebakannya selalu benar. Ingin rasanya aku bersandar padanya. Menceritakan semua agar terasa sedikit lebih ringan.
"Tidak ada apa apa. Aku, hanya, sedikit rindu padamu. Kau kapan pulang?" jawabku bohong. Namun aku benar merindukan dia.
"Sebentar lagi, luna. Kau masih mau menungguku kan? Begitu urusanku disini selesai, orang pertama yang akan aku temui adalah kau. Setelah itu.." Gian menggantungkan kata katanya. Dia tak berbicara lagi. Kami berdua diam.
"Setelah itu aku akan melamarmu. Dan kita bisa hidup bahagia bertiga. Kau, aku, juga anak kita. Kau ingin tinggal dimana? Di jember? Di tempatku, kupang, atau di belanda?" kata Gian bersungguh sungguh. Aku yang mendengar hal itu merasa lega. Aku tersenyum haru. tapi Gian tidak akan tahu.
"Aku hanya ingin tinggal bersamamu. Tak peduli dimanapun tempatnya."
Kami berdua diam lagi. Agak lama. Saling berbicara pada pikiran masing masing.
"Aku akan segera pulang, Luna.."
telepon terputus. Aku masih diam didepan meja riasku. Ada sedikit haru diantara pembicaraan singkatku dengan Gian tadi. Namun aku tak boleh sedih.
"Kau punya ayah, nak. Dia orang baik. Bersabarlah." Aku mengelus perutku yang mulai membesar yang memasuki usia kandungan 9 bulan. Kemudian aku segera bangkit dan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Ada yang akan aku ceritakan pada Tuhan tentang Gian.
*** 

"Ketika kau membuka mata untuk pertama kali di pagi ini, wajah pertama yang kau lihat adalah aku. Aku akan ada dihadapanmu saat itu juga. Dan seterusnya, aku adalah wajah pertama yang slalu ada dipagi harimu, saat kau membuka mata."
***

Hangat. Ada yang membelai lembut kepalaku. Tapi ini bukan tangan ibu. Lalu tangan siapa?. Apakah Gian sudah disini?. Aku takut untuk membuka mata. Aku takut kalau bukan Gian yang aku lihat. Aku benar benar menginginkan dia disini. 
 "Luna, aku sudah datang.."
 
Suara itu suara Gian. Aku membuka mata. Dia ada dihadapanku. Aku bangun. Memeluknya dengan haru. Aku memandang kearahnya. 7 bulan tidak bertemu dia sudah banyak yang berubah. Ada banyak gurat kelelahan di wajahnya. Namun senyumnya tetap sama. Senyuman yang hangat. Alisnya tetap sama. Alis hitam yang tebal. Dan rambutnya sedikit lebih panjang. Aku tersenyum lega melihatnya. Aku memeluknya lagi. Dia tertawa kecil.
"Kau benar benar rindu padaku ya, aku sampai tak bisa bernafas karena kau memelukku terlalu erat. Bagaimana kabar si kecil?" Tanya Gian sambil melepaskan pelukanku. Dia mengelus perutku yang terlihat sudah sangat besar.
"Dia tetap baik didalam sana, Gian. Dia juga sangat rindu padamu." aku ingin menangis namun tangan Gian sudah terlebih dulu mengusap mataku. Matanya berbicara seolah aku sudah tak boleh menangis lagi.

"Gian, aku, aku malu padamu. Kau bahkan tak mengenalku sejak lama, tapi kau, kau seolah tahu apa yang aku butuhkan untuk masa depanku. Kau bisa langsung menerima aku, sekaligus anak dalam kandunganku. Aku malu padamu, Gian.." aku tundukkan kepalaku sedalam mungkin. Aku benar benar malu pada laki laki sebaik dia.

"Aku tak pernah menanggapmu rendah, Luna. Kau adalah, surga." Gian mengangkat wajahku. Tangannya mengusap lembut pada ujung mataku yang mulai berair. Aku menatapnya heran.

"Aku? Surga?"

"Iya. Surga. Karena bersamamu aku merasa tenang. Aku merasa hidupku berguna. dan juga aku mendapatkan satu malaikat kecil yang sebentar lagi akan lahir. Aku bersyukur Luna karena aku dipertemukan oleh perempuan sepertimu karena tak banyak wanita yang mau menerima aku dengan keadaanku yang seperti ini. Aku bersyukur.."

Tangannya menggenggam tanganku erat. Dia memandangku dengan tatapan teduh. Setelah itu dia mengambil sesuatu di dalam tasnya. Sebuah kotak kecil berwarna putih perak.

"Kau mengalami hidup yang berat saat aku tak disampingmu Luna. Kau berhasil bertahan. Aku berjanji tak akan meninggalkanmu lagi. Harusnya aku sudah melakukan ini sejak awal. Aku minta maaf Luna sudah membuatmu menghadapi semua ini sendirian. Ini belum terlambat kan? Luna, maukah kau menikah denganku?"


30/11/13

Masa Depan

Masa Depan? Seperti apa? Yang istimewa ya .. Rencana Tahun depan, dan tahun tahun yang akan datang .. Okeh, Mungkin bisa diingat disini.

Tak bisa kuliah bukan berarti hilang cita citanya. Masih harus hidup untuk orang lain, lebih tepatnya untuk keluarga, itu lebih penting. Ya ya, sedikit demi sedikit sudah bisa memberi kebahagiaan. Mulai dari membenahi rumah, Sekolah adik, kebutuhan orang tua. Ya meskipun masih banyak kekurangan toh juga masih ada waktu buat memperbaikinya. Lama kelamaan semuanya terasa ringan. Tak seperti dulu lagi yang serasa berat karena menanggung sendirian ..

Masa depan itu, hanya ingin sukses. Manusia sukses :D. Lihat adik sekolah udah tamat sampai sama denganku, atau lebih tinggi lagi misal (Amin). Dan perempuan itu masih bisa bernafas dan berada disampingku saat kata "Masa depan" itu sudah berhasil ku raih. Kau tahu, terkadang berkata "Aku tak membutuhkan dia" itu adalah kebohongan terkejam yang pernah kau katakan pada dirimu sendiri. Aku mengalaminya sendiri. Dan semoga kata itu tak akan pernah terucap lagi.

Aku juga ingin bertemu dia. Kau tahu kan? Kalau tak mungkin bisa hidup dengan lengkap karena keberadaanya, setidaknya bisa bertemu dengannya. Banyak hal yang ingin aku tanyakan padanya. Tentang semuanya. Alasannya kenapa melakukan ini semua, siapa yang benar, dan memintanya datang ketika Hari Bahagia seumur hidupku itu datang.

Masa depan itu, ya ituu. :D Kau tahu maksudnya kan? Berandai andai dikit lah. Dan harus bisa diwujudkan tentunya. :D
Aku ingin pergi ke beberapa tempat ini, Jakarta, Brazil, Finland, dan jepang. (Waahhh XD)
Punya rumah sendiri yg terbuat dari kayu. Kayak di film2 gtu. Kayaknya bagus deh. Ada tamannya. Pokoknya "Hijau". Nggak usah besar2 ah. Sederhana, namun Ijonya Keliatan :D
Tinggal bersama keluarga kecil, 1 suami, 3 orang anak. Yang pertama harus cowok. *Maksa dikit* XD Soalnya sebagai kakak nya. Yang kedua cewek aja :) Yang ketiga, umm.. Boleh deh cowok lagi :D.

Kalau untuk laki laki idaman, Seperti apa yah? Mungkin seperti Namikaze Minato :v XD Ya setidaknya seperti itu, Yang tulus menyayangi Wanitanya, juga bersedia mengorbankan apapun untuk orang lain. Tulus menerima kekurangan.. Nggak usah mikir gantengnya. Relatif aja. Yg penting *ini*nya (Hati dn tulusnya). Syukur syukur dapat bonus tampan dan mapan XD Hihihihi..

Mungkin akan sulit karena keadaan sekarang berbeda. Karena itu, berusaha tak terlalu memikirkan Masa Depan yang itu. Biarkan dia datang sendiri.. :) Dan jika dia sudah datang, Kebahagiaan itu pun dimulai dari detik itu :)

Sudah ah, Sampai sini aja. 

Ini masa depanku. Tujuan Hidupku. Karena aku disini, bukan hal yang sia sia. Aku tahu itu :)

https://www.facebook.com/notes/kunthy-yulia-wardani/masa-depan/2613692199509

15/11/13

Jangan bertanya lagi...

Laki laki itu berjalan perlahan memasuki rumahnya sendiri seperti maling yang hendak mencuri. Pakaiannya sedikit basah karena hujan. Tangan kanannya memegang payung, dan tangan kirinya memegang senter. Malam itu dia tak bisa tidur, dia memutuskan untuk mengecek perkebunannya. Setelah yakin tidak ada masalah apapun, dia kembali pulang dengan perasaan lega. "Ahh, harusnya aku bisa minta tolong Sandy saja untuk mengecek perkebunan. Dan aku sudah sampai di alam mimpi. Cuaca seperti ini sebaiknya tidur." batinnya dalam hati setelah menaruh kembali payungnya.

"Bapak dari perkebunan lagi? Malam malam begini?" Suara putra semata wayangnya mengagetkannya. Terlihat sosok putranya berdiri sambil menyalakan lampu ruang tengah. Laki laki yang dia panggil 'bapak' itu menoleh dan mengibaskan bajunya yang basah.

"Umm, iya, bapak dari sana. Entah kenapa bapak kepikiran soal tanaman tanaman itu. Kau belum tidur san?" Laki laki itu kembali bertanya. Tak ada jawaban. Anak laki laki yang bernama sandy itu hanya menatap ayahnya dengan tatapan tajam. Kemudian melepas kacamatanya sambil berlalu.

"Aku akan tidur lagi. Selamat malam"

Laki laki itu bergumam "Dia tak bisa berubah.". Malam pun kembali menyelimuti keluarga kesepian itu. Hingga fajar itu datang, mereka tetaplah keluarga kesepian.
*** 
Kau tak pernah tahu hidup yang 'sempurna' itu seperti apa. Tapi aku rasa hidup sempurna adalah disaat orangtua kalian lengkap. Ada orangtua perempuan yang kau panggil Ibu, juga orangtua laki laki yang kau panggil Ayah. Atau kalau disini mereka semua memanggilnya 'Bapak'. Aku memang sempurna. Terlahir tanpa cacat fisik apapun. Kekayaan yang tak pernah ada habisnya dari orangtua laki laki ku. Juga kemampuan otak yang lebih. Tapi sejak kecil aku tak pernah tahu seperti apa ibu itu. Satu satunya orangtuaku, bapak, dialah yang ada sejak aku kecil. Terkadang itu membuatku sedikit membencinya. Bagaimana bisa dia membiarkan putranya tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu? Selama ini apa yang ia lakukan? Hanya mengurus kehidupan dunianya. Otakku selalu berpikiran seperti itu. Namun seiring berjalannya waktu, aku menjadi mengerti satu hal. Bahwa dia juga tak menginginkan seperti itu.

*** 
"Sedang apa kau sekarang ra?" Sandy menyapa teman masa kecilnya yang bernama Tiara melalui skype. Sesekali membalik buku yang dia baca. Dia selalu melakukan hal itu setiap kali sebelum tidur. Menyalakan laptop, memasang modem, kemudian menyapa Tiara.

"Cuaca disini sedang dingin sekali san. Aku baru saja membuat teh. Kau mau?" Canda Tiara sambil duduk didepan laptopnya. Sesekali meniup kearah cangkir tehnya yang panas.

"Tidak usah." Jawab Sandy singkat. Membaca bukunya kemudian menatap Tiara melalui kamera laptopnya. "Kau berbeda sekali saat pertama kali kita bertemu. Benar benar berbeda"

"Kau kenapa lagi? Ribut dengan bapak? Kau ini tak pernah sadar ya san. Bapakmu itu sudah tua. Harusnya egomu kau tekan." Kata Tiara sambil menaruh cangkir tehnya. Kemudian duduk manis didepan laptopnya sambil membenarkan letak kalungnya. Kalung Rosarionya.

"Dia benar - benar berubah" batin Sandy setelah melihat Rosario itu.

"Pandangannya selalu tidak suka melihat aku memakai ini." seolah tahu apa yang Sandy katakan, Tiara menyelipkan kembali kalungnya.

"Aku rindu kamu yang dulu ra." kata Sandy sambil setengah menunduk. Memainkan jari jemarinya seperti anak kecil sambil teringat masa lalunya bersama Tiara. Sebelum Tiara memutuskan menjadi Nasrani.

Tiara menatap lurus kearah Sandy melalui layar laptopnya. Dadanya sesak. Dia tak bisa menjawab.

"Kenapa kau masih saja membedakan aku San? Bukankah aku sama sepertimu? Aku juga manusia. Bukankah dalam agamamu, yang membedakan hanya tingkat keimanannya saja?" jawab Tiara sambil memelankan suaranya. Takut takut kalau Sandy tersinggung. "Tuhan, tolong buat laki laki ini mengerti" Tiara bergumam lirih.

"Aku tak pernah jatuh cinta kepada wanita selain kamu Ra. Perasaan itu tak pernah berubah meskipun sekarang kau tak lagi memakai jilbab itu. Dan aku ..." Sandy tak lagi meneruskan kata-katanya. Membiarkan itu terputus ditengah jalan. Antara Magelang dan Belanda.

"Aku menyesal mengajarimu banyak hal Ra..."

Mendengar itu Tiara kaget. Namun kemudian dia tersenyum. Tapi tetap tak menjawab. Dia melihat kearah Sandy dan sekelilingnya. Laki laki itu memakai baju muslim masih dengan sarungnya. Terlihat dibelakangnya masih terpampang sajadah dan Al-qur'an yang masih terbuka. Dia teringat ketika mereka berdua berdebat soal agama dan Tuhan. Menurut Tiara agama yang dianut Sandy adalah agama yang paling jahat. Tuhan dalam agama Sandy sangatlah kekanak-kanakan. Dan ketika Sandy tahu apa yang Tiara pikirkan, Sandy pun menjelaskan banyak hal agar Tiara sadar. Namun Tiara tak bisa ditahan.

"Kenapa kau tak bisa menerima ku yang seperi ini San?"

"Karena aku tak mungkin memilih calon istri dan calon ibu dari anak anak ku adalah bukan dari golonganku!" Sandy mengeraskan suaranya. Tiara kaget. "Dia.. Berkata seperti itu?" Tiara diam. Memandang lurus kearah Sandy. Mata mereka bertemu pandang.

"Lantas jika aku bukan dari golonganmu itu artinya aku tak bisa menjadi seorang istri dan ibu yang baik bagi anaknya? Pikiranmu picik sekali. Kau pikir dalam agamaku juga tak diajarkan bagaimana 'memanusiakan-manusia' secara benar? Kenapa kau selalu berfikir agamamu saja yang paling benar?" Tiara berhenti sebentar mencoba menahan air matanya.

"jangan menangis disini"

"Lalu kenapa kau tak memilih wanita lain yang segolongan denganmu saja san?" Tiara memelankan suaranya. Ada sedikit lelehan air mata disudut matanya.

***
Sore itu  di sebuah perkebunan kelapa sawit terlihat sosok laki laki dan anak laki lakinya yang baru genap berusia 10 tahun sedang menghitung berapa banyak hasil panennya bulan ini. Anak laki laki itu adalah Sandy semasa kecil. Wajahnya begitu mirip dengan Ayahnya.

"Sandy selalu saja diejek teman teman sekolah karena Sandy tak punya Ibu pak" kata sandy waktu itu sambil meluruskan kakinya. Duduk disebelah keranjang kelapa itu sambil sesekali mendongak kearah. Wajahnya murung. Laki laki yang dia panggil bapak itu tidak menyahut. Dia sibuk dengan buku yang ada ditangannya sambil mulutnya komat kamit menghitung angka angka yang tertulis dibuku tersebut.

"Paakk.." Sandy kecil menarik narik celana bapaknya. Memaksa bapaknya untuk duduk disampingnya. Dan menjawab pertanyaannya. Laki laki itupun tersenyum. Kemudian mengambil tempat untuk duduk disebelah putra semata wayangnya. Sambil mengelus rambut ikal putranya.

"Kamu itu punya Ibu, san. Ndak usah didengerin teman temanmu itu. Mereka itu iri karena Sandy selalu juara dikelas. Ibumu itu cantik sekali. Selalu menutup tubuhnya. Rambutnya selalu ditutupi pake jilbab. Masakannya juga enak. Tapi sekarang Ibumu sudah punya rumah yang lain, ndak disini lagi. Ndak sama kita lagi. Nanti kalo bapak tahu alamatnya, bapak pasti ajak kamu kesana. Sabar ya san" kata Laki laki itu sambil matanya menatap lurus kearah perkebunanya. Dadanya sedikit sakit jika harus menceritakan itu. Tapi Putra nya harus tahu. Dia tak bisa terus terusan menyembunyikannya.

"Oh ya san, sini bapak mau kasih tahu satu hal" Kata laki laki itu sambil mengangkat Sandy dan menaruhnya ke pangkuannya. Sandy kecil sudah tidak sedih lagi. Dia menyandarkan kepalanya di dada bapaknya.

"Besok, kalau Sandy sudah besar, sudah dewasa, Sandy harus cari istri yang seperti ibu ya? Yang cantik. Yang lemah lembut. Yang pintar. Yang pakai jilbab. Biar Sandy tahu rasanya punya ibu itu seperti apa. Janji sama bapak ya san?"

Sandy kecil mengangguk mantab. Mencoba menaruh nasihat bapaknya di otak yang paling dalam agar dia tidak lupa. Agar dia tetap ingat sampai dia dewasa nanti.

"Yang cantik, yang lemah lembut, yang pintar .. Dan yang berjilbab"
***  

Awal tahun ini seharusnya aku menunggu kepulangannya di bandara. Sudah 3 tahun aku tak bertemu dengannya. Tapi sekarang aku malah berada dibalik selimut dengan pikiran yang tak tentu. Aku menyesal mengakhiri semuanya tanpa bertatap muka denganya dahulu.

"Aku akan menikah, Ra" kata Sandy dikala senja itu. Tiara yang mendengar hal itu, hanya berusaha tersenyum tipis. "akhirnya aku berhasil mengatakannya." batin Sandy dalam hati.

"Setelah semua yang kita lakukan, kau benar benar ingin mengakhirinya begitu saja San? Tapi mungkin itu yang terbaik. Kau sudah menemukan wanita yang mirip ibumu. Aku senang mendengarnya."
"Aku akan datang, San" Tiara mengakhiri pembicaraanya. Dia memencet tombol close pada aplikasi Skypenya kemudian mematikan laptopnya. Dia menangis. Namun menyembunyikan tangisnya dibalik tangannya. Perih.

04/07/13

Eyes (Empat;End)

"Aku benci disini.. Aku benci semuanya.. Siapa Ari? Siapa Riki? Aku tak pernah mengenal mereka" Liv berbisik sendiri. Merapatkan tubuhnya ke tembok, menutup telinganya rapat rapat. Mencoba menenangkan dirinya sendiri. Semua kenangannya dengan dua orang itu menari nari dalam ingatannya. Dia tak bisa langsung saja menerima kenyataan pahit dua minggu yang lalu. Peristiwa di gereja sore itu dan setelahnya membuat dia kacau melebihi ketika dia ditinggal pergi oleh Riki. Dari kejauhan terlihat sosok wanita yang mulai memasuki usia senja menatapnya dengan lelehan air mata yang tak pernah bisa ia sembunyikan ketika melihat keadaan putrinya.
"Bapa yang pengasih, bisakah putriku sembuh? Aku tak tega melihatnya terus terusan  seperti itu.." Wanita itu merapatkan jemarinya. Berdoa. Doa yang sama. Dia ingin putrinya sembuh seperti dulu. Kembali menjadi gadis ceria kebanggaannya. Namun kenyataannya tak seperti itu.
"AKU BENCI KALIAAANNN !!!!!" Liv berteriak Histeris. Membenturkan kepalanya ke tembok. Sang ibu yang sedari tadi berada dibalik pintu pun berlari menuju kearahnya. Berusaha memeluknya meskipun tangan tangan lemah Liv meronta.  "Bapa yang pengasih, kami mengimani Engkau menemani setiap langkah kami, seperti Kau memberikan Putra Mu untuk menebus dosa kami, saat ini Bapa, kami mengimani juga pemeliharaan Mu untuk putriku, Olivia disetiap langkah hidupnya. Terima kasih Bapa, hanya di dalam nama Mu, puji syukur kami panjatkan. Amin" Sambil memeluk putrinya erat erat, sang ibu tak berhentinya memanjatkan Doa. Air matanya semakin deras mengalir sembari mengusap wajah putrinya. Mencoba mengikhlaskan takdirnya.
***
"Allah, Bapa yang maha murah. Kami bersyukur kepada-Mu karena Engkau telah menguatkan kami melalui kehadiran-Mu dalam ibadat ini.
Kami bersyukur kepada-Mu karena Engkau telah membagikan kelimpahan cinta kasih-Mu kepada kami. Kami bersyukur, karena persekutuan cinta kasih ini.
Semoga hidup kami dipenuhi rasa syukur baik dalam suka maupun dalam duka. Semoga persekutuan kami dengan Yesus dalam ibadat ini menguatkan iman kami sehingga kami mampu menjadi saksi-saksi-Mu di tengah-tengah masyarakat.
Bapa, kami mohon rahmat-Mu bagi mereka yang tidak bisa hadir dalam ibadat pada hari ini. Semoga mereka semua tetap dalam naungan kasih-Mu. Sebab Engkaulah yang hidup dan berkuasa bersama Putra dalam persekutuan Roh Kudus, kini dan sepanjang masa. (Amin..)"
Riki masih tak beranjak dari gereja. Malam itu perasaannya tidak tenang. Dia menghawatirkan Liv yang jauh disana, namun dia tak bisa apa apa. Dia masih harus tinggal disini untuk beberapa waktu lagi. "Liv, kau baik disana? Aku sangat menghawatirkanmu"
***
Malang, 27 Januari 2011, langkah tegap laki laki itu terdengar dari kejauhan diantara  serbuan hujan lebat sore itu. Meski sedikit merasakan pijakannya melemah, meski terkadang dia terseok seok, tak menghentikan langkahnya sekali saja walau untuk mengambil nafas.
"Tidak, kenapa kau ambil dia begitu cepat Tuhan? Kenapa kau tak menjaganya ketika aku tak ada disampingnya hanya untuk sementara waktu?" dada laki laki itu terasa bergetar. Ada rasa sakit diantara getarannya. Ada beberapa buliran air mata yang jatuh diantara air hujan yang membasahi wajah tegasnya. Dia melupakan satu hal bahwa sebagai laki laki menangis adalah sebuah pantangan. Dia tak peduli. Semakin mendekat dengan apa yang dia tuju, semakin melemah pula langkah kakinya. Sebuah pemakaman umum yang lengang. Pandangannya mencari sesuatu. Ketemu. Sebuah makam yang masih baru. Masih banyak bunga diatasnya. Dengan nisan dari marmer hitam dan bertuliskan nama "Olivia Audrey" diatasnya.