15/11/13

Jangan bertanya lagi...

Laki laki itu berjalan perlahan memasuki rumahnya sendiri seperti maling yang hendak mencuri. Pakaiannya sedikit basah karena hujan. Tangan kanannya memegang payung, dan tangan kirinya memegang senter. Malam itu dia tak bisa tidur, dia memutuskan untuk mengecek perkebunannya. Setelah yakin tidak ada masalah apapun, dia kembali pulang dengan perasaan lega. "Ahh, harusnya aku bisa minta tolong Sandy saja untuk mengecek perkebunan. Dan aku sudah sampai di alam mimpi. Cuaca seperti ini sebaiknya tidur." batinnya dalam hati setelah menaruh kembali payungnya.

"Bapak dari perkebunan lagi? Malam malam begini?" Suara putra semata wayangnya mengagetkannya. Terlihat sosok putranya berdiri sambil menyalakan lampu ruang tengah. Laki laki yang dia panggil 'bapak' itu menoleh dan mengibaskan bajunya yang basah.

"Umm, iya, bapak dari sana. Entah kenapa bapak kepikiran soal tanaman tanaman itu. Kau belum tidur san?" Laki laki itu kembali bertanya. Tak ada jawaban. Anak laki laki yang bernama sandy itu hanya menatap ayahnya dengan tatapan tajam. Kemudian melepas kacamatanya sambil berlalu.

"Aku akan tidur lagi. Selamat malam"

Laki laki itu bergumam "Dia tak bisa berubah.". Malam pun kembali menyelimuti keluarga kesepian itu. Hingga fajar itu datang, mereka tetaplah keluarga kesepian.
*** 
Kau tak pernah tahu hidup yang 'sempurna' itu seperti apa. Tapi aku rasa hidup sempurna adalah disaat orangtua kalian lengkap. Ada orangtua perempuan yang kau panggil Ibu, juga orangtua laki laki yang kau panggil Ayah. Atau kalau disini mereka semua memanggilnya 'Bapak'. Aku memang sempurna. Terlahir tanpa cacat fisik apapun. Kekayaan yang tak pernah ada habisnya dari orangtua laki laki ku. Juga kemampuan otak yang lebih. Tapi sejak kecil aku tak pernah tahu seperti apa ibu itu. Satu satunya orangtuaku, bapak, dialah yang ada sejak aku kecil. Terkadang itu membuatku sedikit membencinya. Bagaimana bisa dia membiarkan putranya tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu? Selama ini apa yang ia lakukan? Hanya mengurus kehidupan dunianya. Otakku selalu berpikiran seperti itu. Namun seiring berjalannya waktu, aku menjadi mengerti satu hal. Bahwa dia juga tak menginginkan seperti itu.

*** 
"Sedang apa kau sekarang ra?" Sandy menyapa teman masa kecilnya yang bernama Tiara melalui skype. Sesekali membalik buku yang dia baca. Dia selalu melakukan hal itu setiap kali sebelum tidur. Menyalakan laptop, memasang modem, kemudian menyapa Tiara.

"Cuaca disini sedang dingin sekali san. Aku baru saja membuat teh. Kau mau?" Canda Tiara sambil duduk didepan laptopnya. Sesekali meniup kearah cangkir tehnya yang panas.

"Tidak usah." Jawab Sandy singkat. Membaca bukunya kemudian menatap Tiara melalui kamera laptopnya. "Kau berbeda sekali saat pertama kali kita bertemu. Benar benar berbeda"

"Kau kenapa lagi? Ribut dengan bapak? Kau ini tak pernah sadar ya san. Bapakmu itu sudah tua. Harusnya egomu kau tekan." Kata Tiara sambil menaruh cangkir tehnya. Kemudian duduk manis didepan laptopnya sambil membenarkan letak kalungnya. Kalung Rosarionya.

"Dia benar - benar berubah" batin Sandy setelah melihat Rosario itu.

"Pandangannya selalu tidak suka melihat aku memakai ini." seolah tahu apa yang Sandy katakan, Tiara menyelipkan kembali kalungnya.

"Aku rindu kamu yang dulu ra." kata Sandy sambil setengah menunduk. Memainkan jari jemarinya seperti anak kecil sambil teringat masa lalunya bersama Tiara. Sebelum Tiara memutuskan menjadi Nasrani.

Tiara menatap lurus kearah Sandy melalui layar laptopnya. Dadanya sesak. Dia tak bisa menjawab.

"Kenapa kau masih saja membedakan aku San? Bukankah aku sama sepertimu? Aku juga manusia. Bukankah dalam agamamu, yang membedakan hanya tingkat keimanannya saja?" jawab Tiara sambil memelankan suaranya. Takut takut kalau Sandy tersinggung. "Tuhan, tolong buat laki laki ini mengerti" Tiara bergumam lirih.

"Aku tak pernah jatuh cinta kepada wanita selain kamu Ra. Perasaan itu tak pernah berubah meskipun sekarang kau tak lagi memakai jilbab itu. Dan aku ..." Sandy tak lagi meneruskan kata-katanya. Membiarkan itu terputus ditengah jalan. Antara Magelang dan Belanda.

"Aku menyesal mengajarimu banyak hal Ra..."

Mendengar itu Tiara kaget. Namun kemudian dia tersenyum. Tapi tetap tak menjawab. Dia melihat kearah Sandy dan sekelilingnya. Laki laki itu memakai baju muslim masih dengan sarungnya. Terlihat dibelakangnya masih terpampang sajadah dan Al-qur'an yang masih terbuka. Dia teringat ketika mereka berdua berdebat soal agama dan Tuhan. Menurut Tiara agama yang dianut Sandy adalah agama yang paling jahat. Tuhan dalam agama Sandy sangatlah kekanak-kanakan. Dan ketika Sandy tahu apa yang Tiara pikirkan, Sandy pun menjelaskan banyak hal agar Tiara sadar. Namun Tiara tak bisa ditahan.

"Kenapa kau tak bisa menerima ku yang seperi ini San?"

"Karena aku tak mungkin memilih calon istri dan calon ibu dari anak anak ku adalah bukan dari golonganku!" Sandy mengeraskan suaranya. Tiara kaget. "Dia.. Berkata seperti itu?" Tiara diam. Memandang lurus kearah Sandy. Mata mereka bertemu pandang.

"Lantas jika aku bukan dari golonganmu itu artinya aku tak bisa menjadi seorang istri dan ibu yang baik bagi anaknya? Pikiranmu picik sekali. Kau pikir dalam agamaku juga tak diajarkan bagaimana 'memanusiakan-manusia' secara benar? Kenapa kau selalu berfikir agamamu saja yang paling benar?" Tiara berhenti sebentar mencoba menahan air matanya.

"jangan menangis disini"

"Lalu kenapa kau tak memilih wanita lain yang segolongan denganmu saja san?" Tiara memelankan suaranya. Ada sedikit lelehan air mata disudut matanya.

***
Sore itu  di sebuah perkebunan kelapa sawit terlihat sosok laki laki dan anak laki lakinya yang baru genap berusia 10 tahun sedang menghitung berapa banyak hasil panennya bulan ini. Anak laki laki itu adalah Sandy semasa kecil. Wajahnya begitu mirip dengan Ayahnya.

"Sandy selalu saja diejek teman teman sekolah karena Sandy tak punya Ibu pak" kata sandy waktu itu sambil meluruskan kakinya. Duduk disebelah keranjang kelapa itu sambil sesekali mendongak kearah. Wajahnya murung. Laki laki yang dia panggil bapak itu tidak menyahut. Dia sibuk dengan buku yang ada ditangannya sambil mulutnya komat kamit menghitung angka angka yang tertulis dibuku tersebut.

"Paakk.." Sandy kecil menarik narik celana bapaknya. Memaksa bapaknya untuk duduk disampingnya. Dan menjawab pertanyaannya. Laki laki itupun tersenyum. Kemudian mengambil tempat untuk duduk disebelah putra semata wayangnya. Sambil mengelus rambut ikal putranya.

"Kamu itu punya Ibu, san. Ndak usah didengerin teman temanmu itu. Mereka itu iri karena Sandy selalu juara dikelas. Ibumu itu cantik sekali. Selalu menutup tubuhnya. Rambutnya selalu ditutupi pake jilbab. Masakannya juga enak. Tapi sekarang Ibumu sudah punya rumah yang lain, ndak disini lagi. Ndak sama kita lagi. Nanti kalo bapak tahu alamatnya, bapak pasti ajak kamu kesana. Sabar ya san" kata Laki laki itu sambil matanya menatap lurus kearah perkebunanya. Dadanya sedikit sakit jika harus menceritakan itu. Tapi Putra nya harus tahu. Dia tak bisa terus terusan menyembunyikannya.

"Oh ya san, sini bapak mau kasih tahu satu hal" Kata laki laki itu sambil mengangkat Sandy dan menaruhnya ke pangkuannya. Sandy kecil sudah tidak sedih lagi. Dia menyandarkan kepalanya di dada bapaknya.

"Besok, kalau Sandy sudah besar, sudah dewasa, Sandy harus cari istri yang seperti ibu ya? Yang cantik. Yang lemah lembut. Yang pintar. Yang pakai jilbab. Biar Sandy tahu rasanya punya ibu itu seperti apa. Janji sama bapak ya san?"

Sandy kecil mengangguk mantab. Mencoba menaruh nasihat bapaknya di otak yang paling dalam agar dia tidak lupa. Agar dia tetap ingat sampai dia dewasa nanti.

"Yang cantik, yang lemah lembut, yang pintar .. Dan yang berjilbab"
***  

Awal tahun ini seharusnya aku menunggu kepulangannya di bandara. Sudah 3 tahun aku tak bertemu dengannya. Tapi sekarang aku malah berada dibalik selimut dengan pikiran yang tak tentu. Aku menyesal mengakhiri semuanya tanpa bertatap muka denganya dahulu.

"Aku akan menikah, Ra" kata Sandy dikala senja itu. Tiara yang mendengar hal itu, hanya berusaha tersenyum tipis. "akhirnya aku berhasil mengatakannya." batin Sandy dalam hati.

"Setelah semua yang kita lakukan, kau benar benar ingin mengakhirinya begitu saja San? Tapi mungkin itu yang terbaik. Kau sudah menemukan wanita yang mirip ibumu. Aku senang mendengarnya."
"Aku akan datang, San" Tiara mengakhiri pembicaraanya. Dia memencet tombol close pada aplikasi Skypenya kemudian mematikan laptopnya. Dia menangis. Namun menyembunyikan tangisnya dibalik tangannya. Perih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar