04/07/13

Eyes (Empat;End)

"Aku benci disini.. Aku benci semuanya.. Siapa Ari? Siapa Riki? Aku tak pernah mengenal mereka" Liv berbisik sendiri. Merapatkan tubuhnya ke tembok, menutup telinganya rapat rapat. Mencoba menenangkan dirinya sendiri. Semua kenangannya dengan dua orang itu menari nari dalam ingatannya. Dia tak bisa langsung saja menerima kenyataan pahit dua minggu yang lalu. Peristiwa di gereja sore itu dan setelahnya membuat dia kacau melebihi ketika dia ditinggal pergi oleh Riki. Dari kejauhan terlihat sosok wanita yang mulai memasuki usia senja menatapnya dengan lelehan air mata yang tak pernah bisa ia sembunyikan ketika melihat keadaan putrinya.
"Bapa yang pengasih, bisakah putriku sembuh? Aku tak tega melihatnya terus terusan  seperti itu.." Wanita itu merapatkan jemarinya. Berdoa. Doa yang sama. Dia ingin putrinya sembuh seperti dulu. Kembali menjadi gadis ceria kebanggaannya. Namun kenyataannya tak seperti itu.
"AKU BENCI KALIAAANNN !!!!!" Liv berteriak Histeris. Membenturkan kepalanya ke tembok. Sang ibu yang sedari tadi berada dibalik pintu pun berlari menuju kearahnya. Berusaha memeluknya meskipun tangan tangan lemah Liv meronta.  "Bapa yang pengasih, kami mengimani Engkau menemani setiap langkah kami, seperti Kau memberikan Putra Mu untuk menebus dosa kami, saat ini Bapa, kami mengimani juga pemeliharaan Mu untuk putriku, Olivia disetiap langkah hidupnya. Terima kasih Bapa, hanya di dalam nama Mu, puji syukur kami panjatkan. Amin" Sambil memeluk putrinya erat erat, sang ibu tak berhentinya memanjatkan Doa. Air matanya semakin deras mengalir sembari mengusap wajah putrinya. Mencoba mengikhlaskan takdirnya.
***
"Allah, Bapa yang maha murah. Kami bersyukur kepada-Mu karena Engkau telah menguatkan kami melalui kehadiran-Mu dalam ibadat ini.
Kami bersyukur kepada-Mu karena Engkau telah membagikan kelimpahan cinta kasih-Mu kepada kami. Kami bersyukur, karena persekutuan cinta kasih ini.
Semoga hidup kami dipenuhi rasa syukur baik dalam suka maupun dalam duka. Semoga persekutuan kami dengan Yesus dalam ibadat ini menguatkan iman kami sehingga kami mampu menjadi saksi-saksi-Mu di tengah-tengah masyarakat.
Bapa, kami mohon rahmat-Mu bagi mereka yang tidak bisa hadir dalam ibadat pada hari ini. Semoga mereka semua tetap dalam naungan kasih-Mu. Sebab Engkaulah yang hidup dan berkuasa bersama Putra dalam persekutuan Roh Kudus, kini dan sepanjang masa. (Amin..)"
Riki masih tak beranjak dari gereja. Malam itu perasaannya tidak tenang. Dia menghawatirkan Liv yang jauh disana, namun dia tak bisa apa apa. Dia masih harus tinggal disini untuk beberapa waktu lagi. "Liv, kau baik disana? Aku sangat menghawatirkanmu"
***
Malang, 27 Januari 2011, langkah tegap laki laki itu terdengar dari kejauhan diantara  serbuan hujan lebat sore itu. Meski sedikit merasakan pijakannya melemah, meski terkadang dia terseok seok, tak menghentikan langkahnya sekali saja walau untuk mengambil nafas.
"Tidak, kenapa kau ambil dia begitu cepat Tuhan? Kenapa kau tak menjaganya ketika aku tak ada disampingnya hanya untuk sementara waktu?" dada laki laki itu terasa bergetar. Ada rasa sakit diantara getarannya. Ada beberapa buliran air mata yang jatuh diantara air hujan yang membasahi wajah tegasnya. Dia melupakan satu hal bahwa sebagai laki laki menangis adalah sebuah pantangan. Dia tak peduli. Semakin mendekat dengan apa yang dia tuju, semakin melemah pula langkah kakinya. Sebuah pemakaman umum yang lengang. Pandangannya mencari sesuatu. Ketemu. Sebuah makam yang masih baru. Masih banyak bunga diatasnya. Dengan nisan dari marmer hitam dan bertuliskan nama "Olivia Audrey" diatasnya.