08/12/13

Surga

Pyar..!!
Sekali lagi kaca jendela itu pecah terkena lemparan batu di subuh yang sama. Seisi rumah pun segera berlari melihat keadaan diluar. Aku segera menyusul sambil masih menggunakan mukenah karena baru selesai melaksanakan sholat subuh.
"Ini masih jam empat pagi. Beruntung tak mengenai keningmu lagi nduk.." aku mendengar ibu bergumam pelan. Sembari membersihkan pecahan kaca, aku membantu sebisaku.

"Maafkan Luna, bu," aku berusaha tak menangis. Namun tetesan air mataku tetap saja masih terlihat di mata ibu.
"Sudah cah ayu, jangan dipikirkan. Nanti bayi dalam kandunganmu ikutan sedih. Jaga kandunganmu ya nduk?" kata ibu sambil membelai tanganku. Hangat sekali. Aku menangis dalam dekapannya.

***

Setiap hari aku menghabiskan waktuku berdiam diri dirumah. Aku terlalu takut menghadapi dunia luar yang seolah mereka semua tak pernah kehabisan bahan ejekan yang selalu mereka lontarkan pada diriku. Seringkali aku masih bisa mendengar perkataan mereka dari dalam kamarku, bahwa aku, pezinah, tak pantas ada di sini. Aku hanya membawa kesialan. Dan aku mengandung anak haram. Ingin rasanya aku keluar dan mengatakan pada mereka sekeras mungkin bahwa mereka semua salah. Mereka tak tahu apa apa tentang aku, dan bayi dalam kandunganku ini. Dan pada akhirnya, aku selalu teringat pada laki laki itu. Laki laki yang dulunya selalu berkata bahwa dia tak akan meninggalkanku apapun yang terjadi. Yang selalu berkata bahwa dia sangat mencintaiku dan akan melakukan segalanya buatku. Tapi sekarang semuanya sudah tak ada artinya lagi. Dia pergi. Tanpa mau tahu keadaanku, juga anaknya yang ada dalam kandunganku. 


***

"Halo.." aku mengangkat telepon dengan suara sesenggukan. Mengatur nafas sambil berpura pura seolah olah tak terjadi apa apa. Tapi ternyata gagal.
"Sudah aku duga. Ada apa disana?" suara Gian dari seberang membuatku melemah. Tebakannya selalu benar. Ingin rasanya aku bersandar padanya. Menceritakan semua agar terasa sedikit lebih ringan.
"Tidak ada apa apa. Aku, hanya, sedikit rindu padamu. Kau kapan pulang?" jawabku bohong. Namun aku benar merindukan dia.
"Sebentar lagi, luna. Kau masih mau menungguku kan? Begitu urusanku disini selesai, orang pertama yang akan aku temui adalah kau. Setelah itu.." Gian menggantungkan kata katanya. Dia tak berbicara lagi. Kami berdua diam.
"Setelah itu aku akan melamarmu. Dan kita bisa hidup bahagia bertiga. Kau, aku, juga anak kita. Kau ingin tinggal dimana? Di jember? Di tempatku, kupang, atau di belanda?" kata Gian bersungguh sungguh. Aku yang mendengar hal itu merasa lega. Aku tersenyum haru. tapi Gian tidak akan tahu.
"Aku hanya ingin tinggal bersamamu. Tak peduli dimanapun tempatnya."
Kami berdua diam lagi. Agak lama. Saling berbicara pada pikiran masing masing.
"Aku akan segera pulang, Luna.."
telepon terputus. Aku masih diam didepan meja riasku. Ada sedikit haru diantara pembicaraan singkatku dengan Gian tadi. Namun aku tak boleh sedih.
"Kau punya ayah, nak. Dia orang baik. Bersabarlah." Aku mengelus perutku yang mulai membesar yang memasuki usia kandungan 9 bulan. Kemudian aku segera bangkit dan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Ada yang akan aku ceritakan pada Tuhan tentang Gian.
*** 

"Ketika kau membuka mata untuk pertama kali di pagi ini, wajah pertama yang kau lihat adalah aku. Aku akan ada dihadapanmu saat itu juga. Dan seterusnya, aku adalah wajah pertama yang slalu ada dipagi harimu, saat kau membuka mata."
***

Hangat. Ada yang membelai lembut kepalaku. Tapi ini bukan tangan ibu. Lalu tangan siapa?. Apakah Gian sudah disini?. Aku takut untuk membuka mata. Aku takut kalau bukan Gian yang aku lihat. Aku benar benar menginginkan dia disini. 
 "Luna, aku sudah datang.."
 
Suara itu suara Gian. Aku membuka mata. Dia ada dihadapanku. Aku bangun. Memeluknya dengan haru. Aku memandang kearahnya. 7 bulan tidak bertemu dia sudah banyak yang berubah. Ada banyak gurat kelelahan di wajahnya. Namun senyumnya tetap sama. Senyuman yang hangat. Alisnya tetap sama. Alis hitam yang tebal. Dan rambutnya sedikit lebih panjang. Aku tersenyum lega melihatnya. Aku memeluknya lagi. Dia tertawa kecil.
"Kau benar benar rindu padaku ya, aku sampai tak bisa bernafas karena kau memelukku terlalu erat. Bagaimana kabar si kecil?" Tanya Gian sambil melepaskan pelukanku. Dia mengelus perutku yang terlihat sudah sangat besar.
"Dia tetap baik didalam sana, Gian. Dia juga sangat rindu padamu." aku ingin menangis namun tangan Gian sudah terlebih dulu mengusap mataku. Matanya berbicara seolah aku sudah tak boleh menangis lagi.

"Gian, aku, aku malu padamu. Kau bahkan tak mengenalku sejak lama, tapi kau, kau seolah tahu apa yang aku butuhkan untuk masa depanku. Kau bisa langsung menerima aku, sekaligus anak dalam kandunganku. Aku malu padamu, Gian.." aku tundukkan kepalaku sedalam mungkin. Aku benar benar malu pada laki laki sebaik dia.

"Aku tak pernah menanggapmu rendah, Luna. Kau adalah, surga." Gian mengangkat wajahku. Tangannya mengusap lembut pada ujung mataku yang mulai berair. Aku menatapnya heran.

"Aku? Surga?"

"Iya. Surga. Karena bersamamu aku merasa tenang. Aku merasa hidupku berguna. dan juga aku mendapatkan satu malaikat kecil yang sebentar lagi akan lahir. Aku bersyukur Luna karena aku dipertemukan oleh perempuan sepertimu karena tak banyak wanita yang mau menerima aku dengan keadaanku yang seperti ini. Aku bersyukur.."

Tangannya menggenggam tanganku erat. Dia memandangku dengan tatapan teduh. Setelah itu dia mengambil sesuatu di dalam tasnya. Sebuah kotak kecil berwarna putih perak.

"Kau mengalami hidup yang berat saat aku tak disampingmu Luna. Kau berhasil bertahan. Aku berjanji tak akan meninggalkanmu lagi. Harusnya aku sudah melakukan ini sejak awal. Aku minta maaf Luna sudah membuatmu menghadapi semua ini sendirian. Ini belum terlambat kan? Luna, maukah kau menikah denganku?"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar