02/03/14

Cermin

Senja yang dingin di sebuah perkampungan dipinggiran kota Magelang. Aroma hujan sudah terhapus sejak beberapa menit  yang lalu tetap tak berhasil mengusir hawa dingin di sekitarnya. Perempuan itu masih tengah asyik dengan laptopnya. Hari itu dia sedang membuat sebuah cerpen yang akan dia kirimkan ke perlombaan di sebuah majalah. Dan uang hasil lomba itu, jika dia menang nanti, akan dia gunakan untuk pergi ke sebuah tempat. Tak ada ekspresi di wajah sendunya. Sesekali dia berhenti mengetik untuk meminum teh hangat buatan ibunya, kemudian mengelus dengan lembut perutnya yang akan memasuki usia kandungan satu bulan. Dia bersandar pada kursi nya sebentar. Kemudian mendongak ke atas dan memejamkan matanya. Hatinya sakit.


***

"Ini peringatan terakhirku. Waktumu sudah tidak banyak. Akan semakin sulit jika kau menunda ini. Segera gugurkan kandunganmu atau dia akan bertambah kebal. Aku gak mau hidupku hancur gara gara bertanggungjawab atas anak dalam kandunganmu."

Sebuah pesan singkat pagi itu bak mimpi buruk kesekian kalinya yang membangunkan tidurnya akhir akhir ini. Dia tetap bungkam dan tak menunjukkan ekspresi apa apa. Hatinya sudah terlalu sering bergeming. Terlalu sering menahan sakit. Dia memutuskan untuk men-delete pesan itu dan kemudian melanjutkan istirahatnya. Tapi dia tidak tega. Dia urungkan niatnya itu dan segera membalas. Dan kemudian dia melanjutkan tidurnya untuk beberapa menit saja.


***

Ruangan itu tampak begitu acak acakan tak terurus. Buku panduan tentang kehamilan, cara menggugurkan kandungan, kertas kertas tulisannya, beberapa baju hangat, dan obat obatan terlihat di banyak sudut di kamar tidur sempitnya. Berkali kali ibunya berteriak menyuruhnya untuk membereskannya tapi lagi lagi perempuan itu bergeming. Mungkin baginya, tak ada gunanya dia berbicara sepatah katapun. Tak ada yang mengerti, tak ada yang bisa menolongnya. Pun ibunya sendiri. Tidak bisa. Dia keluar dari kamar mandi dengan mata yang sembab. Selalu seperti itu. Dia selalu menangis dibawah guyuran shower kamar mandinya. Banyak yang membuatnya menangis. Terutama laki laki itu. Laki laki yang tak mau bertanggungjawab dan malah mengancamnya. Itu yang membuatnya harus meminum beberapa obat agar perempuan itu tenang kala dia tak bisa memejamkan matanya saat kantuknya menyerang. Pun kala ketika hatinya sangat sakit. Dia memilih pakaian hangat terusan dan mengenakan jaket serta syal kesukaannya. Kemudian dia menuju ke meja riasnya. Dia menatap dirinya. Dia tersenyum. Dia tersenyum untuk pertama kalinya setelah kejadian ini. Dia memoles wajah sendunya dengan sedikit bedak. Melukis alis matanya dengan warna gelap. Kemudian memoles bibirnya dengan lipstik warna merah darah. Hari ini dia tak mengenakan jilbabnya.

"Sempurna"

Perempuan itu bergumam lirih. Kemudian dia keluar kamar. Dia mencari ibunya. Dia menemukan ibunya tengah asyik melanjutkan merajut sweater kecil berwarna hijau, untuk calon cucunya. Perempuan itu bersujud pada ibunya. Mencium kakinya untuk beberapa menit. Dia bernafas berat. Dadanya lebih sakit daripada ketika dia mengingat laki laki itu. Dia butuh obatnya. Namun obatnya sengaja dia tinggal didalam kamarnya. Dia berusaha untuk tidak terlalu banyak menangis. Ibunya menatapnya dengan tatapan sangat heran.

"Kamu ini kenapa? Tumben tumbenan kayak gini? Mau kemana?" Tanya sang ibu sambil mengangkat tubuh putri sulungnya untuk berdiri. Perempuan itu diam dan hanya tersenyum. Dia mengusap air matanya yang meleleh sedikit di ujung matanya kemudian dia menarik nafas dalam dalam.

"Maafkan Aya bu. Ampuni Aya ya bu..." Perempuan itu memeluk ibunya erat. Dia tak bisa menceritakan pada ibunya dia kenapa dan mau kemana. Setelah sedikit tenang dia pamit pada ibunya. Mencium tangan ibunya selama mungkin.


***


Sebuah rumah yang terletak di dalam gang sempit itu berdiri dengan angkuh, tujuan langkah kakinya petang itu. Dia teringat setahun yang lalu, saat kakinya pertama kalinya menginjak rumah itu. Dia memandang rumah itu tanpa ekspresi. Keadaan rumah itu sepi. Tak lama kemudian dari kejauhan dia melihat sesosok perempuan tua kembali dari musholla dekat gang itu. Dia tersenyum pada perempuan itu. Perempuan itu membalas senyumannya. Sesaat ketika perempuan tua itu hendak menyalaminya, dia mengeluarkan pisau yang dia sembunyikan dari balik jaketnya dan menancapkannya tepat di ginjal perempuan itu. Tak sempat perempuan tua itu menyapa, dia sudah terbelalak dengan darah membasahi mukennahnya. Kemudian ambruk. Perempuan itu tersenyum sejurus kemudian membuang pisaunya. Dia melangkah maju dan mengetuk pintu rumah angkuh itu. Tangan kananya menyembunyikan pistol.

"Kau?!" Laki laki tua itu sedikit terkejut. Dia berusaha menutup pintunya kembali namun tangan perempuan itu lebih gesit.

Dorr Dorr ..

Dua kali tembakan itu tepat menembus jantung laki laki tua itu. Dia mati tanpa berkata apa apa lagi. Perempuan itu tersenyum. Dia sudah tak takut lagi. Dia melangkahi mayat laki laki itu sambil berbisik lirih. "Aku datang ke rumahmu lagi. Kau salah. Kau tak bisa membunuhku ketika aku datang." Dari belakang rumah kemudian muncul lah sosok laki laki.dengan tergopoh gopoh.

"Aya? Apa yang kau lakukan pada orangtuaku?"

Tanpa berkata apapun, perempuan itu mengacungkan senjatanya. Dia berjalan mendekati laki laki itu sambil mengelus perutnya.

"Aku datang bersama anakmu. Kau tak ingin menyapanya terlebih dahulu? Maaf harus dalam keadaan seperti ini. Tapi ini sudah benar kan?"

"Turunkan senjatamu, kita bisa bicara baik baik".

Laki laki itu mundur. Dia terlihat takut. Perempuan itu tersenyum lebar kala melihat laki laki itu ketakutan. Dia tetap mengacungkan senjatanya. Dia tak menurut pada laki laki yang ada dihadapannya. Tanpa berkata apa apa dia melepaskan 1 tembakan lagi. Laki laki itu melotot kearahnya. Dia memegang dada kanannya. Sesaat kemudian dia ambruk. Mati. Perempuan itu duduk lemas disamping jasad laki laki itu. Laki laki kejam yang sangat dia cintai. Dia memeluk jasad itu tak peduli darah yang mengalir disekitarnya. Dia menangis. Dia mengusap perutnya sambil tetap memeluk erat laki lakinya. Dia bangkit. Mengusap dada laki lakinya. Dia rindu melakukan hal itu. Kemudian dia mencium kening laki laki itu. Mencium pipinya. Juga yang terakhir mencium bibirnya. Lama sekali. Dia tetap tak bisa berhenti menangis. Kemudian dia mengambil kembali pistolnya. Kembali memeluk laki laki itu dengan rapat. Kemudian dia menembak mati dirinya sendiri tepat disamping mayat laki laki itu. Rumah angkuh itu kini menjadi lautan darah.


***

Fade To Black :

"Mau kau apa kan pistol itu? Itu bukan pistol mainan." suara itu mengejutkan Aya ketika dia melihat benda benda koleksi di lemari teman nya, Aman siang itu. Kemudian Aman mendekatinya dan ikut berjongkok disebelah Aya. Dia mengambil pistolnya dari tangan Aya dan menaruh kembali ke lemarinya. Namun tangan Aya mencengkeram pergelangan tangannya.

"Bisakah aku meminjamnya? Akhir akhir ini aku sering di teror oleh orang ketika aku berjalan sendirian. Terlebih ketika pulang kerja. Aku mohon.. Tolong bantu aku.." Aya berbohong sambil berusaha mengambil pistolnya kembali.  Aman melepaskannya. Dia tak bisa berkata apa apa. Dia mencoba percaya pada Aya. Aya tersenyum. Ada sedikit embun di sudut matanya. Namun dengan segera dia singkirkan.

"Kau teman yang baik. Aku sangat berterima kasih atas segala kebaikanmu. Tak terkecuali usahamu untuk membujuk dia agar mau bertanggungjawab mengenai anaknya yang ada dalam perutku. Tapi begitulah dia. Tapi terima kasih banyak.. Aku tak akan melupakan segala kebaikanmu"

"Aku kasihan padamu. Seharusnya, kau tak mengenal laki laki itu. Aku menyesal karena kau pernah mengenal dia. Kalau kau butuh bantuan, kau katakan saja padaku"

"Tidak ada. Aku bisa mengurusnya sendiri. Aku pamit.."

Setelah itu Aya melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Dengan pisau dan pistol terselip di saku dalam jaketnya dia meninggalkan Aman yang terduduk lemas dibelakang. Dia terus berjalan dengan keyakinannya. Dia tak berniat menoleh kebelakang. Dia tak akan pernah kembali pulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar