01/09/12

Eyes (Tiga)

Satu minggu telah berlalu. Sinar matahari kota Malang siang itu masih belum bisa menghangatkan Liv yang terduduk lemas di pinggiran jendela kamar tidurnya. Matanya menerawang lurus kedepan menembus pemandangan sekitarnya. Mata yang kosong. Sunyi. Hanya bisikan otaknya yang tengah berperang dengan batinnya. Teringat perkataan sang dokter yang memvonis matanya sudah benar benar parah. Dia belum bisa menerima itu.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Semuanya sudah selesai. Hancur." batin Liv dalam hati. Dia ingin menangis agar dadanya yang sedari tadi sesak bisa sedikit ringan. Tapi akan lebih parah lagi jika dia menangis. Dia pun memutuskan untuk menahan semuanya. Tiba tiba nada dering handphonenya berbunyi. Tangannya pun meraba raba mencari dimana dia meninggalkan handphonenya.
"Liv, Kau baik baik saja?" suara berat Riki dari seberang sana membuat Liv menjauhkan sedikit handphonenya, namun dia tersenyum simpul dan berkata dalam hati "Riki, ternyata dia menghawatirkan aku"
"Riki, aku baik - baik saja. Tenanglah. Kau terdengar sangat ketakutan seperti telah melihat hantu. Hahaha" jawab Liv sambil setengah bercanda untuk mencairkan suasana. Namun kesedihan hatinya belum bisa dia sembunyikan.
"Aku menghawatirkan dirimu. Aku dengar dari Hendrik teman kampusmu itu kau tidak bisa melihat sekarang setelah kecelakaan waktu itu. Hei, kau menyembunyikan semuanya.  Apa yang terjadi? Kecelakaan apa? Bagaimana bisa kau jadi tak bisa melihat sekarang? Dengar ya putri tidur, kau tak boleh seenaknya saja bermain rahasia rahasiaan seperti itu" omel Riki pada Liv. Liv yang mendengar hal itu menjadi terharu. Dia tertawa kecil, mencoba menghibur diri agar Riki tidak tahu seperti apa keadaanya sekarang. Hening. Tak ada yang mengomel lagi untuk beberapa saat.
"Aku hanya sedikit tidak bisa melihat Riki. Tak usah panik seperti itu. Oh iya, aku sudah membeli kaset Symfonia seperti yang kau suruh seminggu yang lalu. Akhirnya aku bisa .."
"Aku ingin bertemu denganmu Liv."  kata Riki secara tiba tiba tanpa membiarkan Liv melanjutkan pembicaraannya tadi. Tak ada jawaban langsung dari Liv. Dia menunduk sambil memainkan jari jari kecilnya. Masih tetap tak ada jawaban
"Aku .. Aku tak bisa Rik." jawab Liv sedih.
"Apa selamanya kau tak ingin aku tahu dimana kau tinggal Liv? Apa kau ingin aku mencari tahu sendiri? Kau ingin aku melakukan itu? Benarkah? Jangan diam saja Liv, jawab aku."
"Aku tak ingin menemuimu dengan keadaan seperti ini Riki. Aku tak bisa melihat. Aku buta! Kau puas sekarang??" Jawab Liv setengah teriak. Tangisnya pecah. Dari seberang sana terlihat Riki menunduk. Jauh dalam hatinya sebenarnya dia tak bermaksud melakukan hal seperti itu. Membuat gadis itu menangis. Dia sangat menyesal sehingga mereka terdiam beberapa saat lamanya. Tak ada yang memulai percakapan kembali. Yang terdengar kini hanyalah isak Liv sesenggukan.

"Aku minta maaf Liv. Maafkan aku. Tadinya aku tak ingin membuatmu menangis dan semakin parah. Sungguh." kata Riki sambil memelankan suaranya. Namun tidak ada jawaban.
"Kau boleh marah padaku Liv sekarang. Akan aku tutup teleponnya agar kau bisa menenangkan diri. Aku mohon maafkan aku."
tuut tuut tuut. Telepon terputus. Tangis Liv pun semakin menjadi. Dia tak peduli dengan keadaan matanya lagi. Yang dia lakukan kini menangis. Mengeluarkan semua yang menjadi beban dalam hatinya. Dia ingin marah pada Riki yang telah membuatnya menjadi menangis. Marah karena dia tidak mengerti bagaimana keadaanya sekarang. Di sisi lain, disebuah lapangan tembak yang terlihat sepi, Riki yang sedari tadi duduk melamun sehabis menelpon beranjak bangun. Mengangkat kepalanya. Kemudian berteriak keras. "Aaarrrrrgggghhhhhh... Bodoh!"
Hari itu dia tidak bermaksud membuat kejadiannya seperti ini. Hari itu dia hanya ingin berkata bahwa dia akan segera kembali ke Kalimantan untuk tugas selanjutnya. Dia hanya mempunyai sisa waktu 3 hari untuk berbicara dan menemui gadis itu. Namun kini dia pasrah. Terjadi perang didalam batinnya. Andai saja dia bisa sedikit berkata pelan waktu itu. Andai saja dia bisa mengerti bagaimana keadaan gadis itu. Andai saja dia tidak ceroboh. Dan hari yang panjang itu berakhir dengan sebuah penyesalan di hati mereka masing - masing.
***
Gelap. Tak bisa melihat. Hanya bisa mendengar saja. Ini sudah pagi ataukah siang? Atau bahkan ini masih tengah malam? Semuanya terlihat sama. Bahkan ketika dia membuka mata ataupun menutup mata, masih saja sama. Hanya gelap gelap dan gelap. Lelehan air matanya semakin membuat kegelapan itu sempurna. Entah sudah berapa lama dia menangis. Andai dia bisa melihat, dia akan melihat betapa buruknya wajahnya itu. Juga matanya yang semakin dia menangis maka akan semakin sembab juga matanya. Sang Ibu yang melihat dari balik pintu kamar hanya bisa terdiam lemas. Dalam hatinya dia menangis. "Mengapa harus anakku yang menderita, Tuhan? Mengapa bukan diriku saja yang sudah renta ini? Apa yang harus aku lakukan sekarang agar dia bisa kembali seperti dulu? Aku rindu anakku yang dulu.." sang Ibu yang tak tega melihat anaknya seperti itu akhirnya dia memutuskan untuk menjauh dulu dari kamarnya. Memikirkan kembali apa yang harus dia lakukan demi anaknya itu.
***
Suasana lapangan tembak tengah kota Malang sore itu terlihat sepi. Terlihat sosok Riki  dengan ekspresi wajah cemas yang sedang menunggu seseorang. Tak lama kemudian sosok yang dia tunggu muncul juga. Dia adalah Hendrik, teman 1 kelas di kampus Liv yang juga rekan 1 team futsal Riki ketika dia berada di Malang dan belum bergabung di pendidikan marinirnya.
"Sorry telat bro, cewek gue minta di antar ke salon dulu. Mohon maklum yah." kata Hendrik sambil bersalaman dengan Riki. Riki membalas salamannya dan kemudian menjawab dengan anggukan pelan, kemudian duduk di rumput rumput sambil menekuk kedua kakinya. Mereka saling diam. Memandang lurus kedepan kearah matahari yang akan tenggelam namun masih ingin memamerkan sinarnya yang indah berwarna jingga itu. Tak ada yang membuka percakapan.
"Jadi, bagaimana dia bisa seperti itu ndrik? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya riki dengan suara dipelankan. Tetap memandang lurus kedepan. Berusaha bertanya setenang mungkin karena dia tidak ingin kejadian di telepon waktu itu dengan Liv terulang lagi. Namun kecemasan hatinya tetap terlihat di mata cokelatnya.
"Gue nggak tahu pastinya bro. Setahu gue dia kecelakaan di Batu sama sahabat ceweknya. Dan sahabatnya itu meninggal saat perjalanan ke rumah sakit. Pernah sekali  waktu itu si Oliv ngeluh ke gue pas lagi kerja kelompok. Dia bilang tiba tiba matanya buram dan gak bisa ngelihat. Pas gue tanya kenapa bisa seperti itu, dia cuman jawab singkat, efek kecelakaan di daerah Batu aja. Itu yang bisa gue ceritain ke elu Bro" jawab Hendrik sambil menepuk pelan bahu Riki. Riki yang mendengar itu hanya bisa mengambil nafas berat. Berusaha menenangkan dirinya. "Oh Tuhan, kenapa harus dia?" batin Riki penuh sesal.
"2 hari lagi tugas gue disini selesai ndrik. Gue balik lagi ke Kalimantan. Dan kemarin itu adalah hal yang paling bodoh yang gue lakuin ke dia." Riki terus saja berceloteh panjang lebar pada Hendrik tanpa menoleh ke arahnya. Semalaman dia selalu dihantui rasa bersalah itu. Dan kini disampingnya ada seorang sahabat, dia memberanikan diri untuk mengeluarkan semua unek unek yang menghantui dirinya agar bisa sedikit tenang.
"Sekarang gue gak tahu harus ngelakuin apa. Rumahnya aja gue nggak tahu. Dia bilang dia nggak ingin ketemu gue gara- gara dia buta. Dan gue juga nggak bisa bayangin kalo dia tahu, gue bakal balik ke kalimantan lagi disaat gue ketemu sama dia dalam keadaan seperti itu. Jujur semalaman gue kepikiran hal ini Ndrik." Hendrik yang mendengar hal itu merasa iba. Dia hanya bisa mendengarkan keluh kesah laki laki tang berada di depannya itu. Dalam hatinya dia heran. Sosok yang dari luar terlihat tangguh seperti itu ternyata bisa menjadi lemah hanya karena 1 hal, wanita.
"Gue tanyain ke Linda aja bro dimana si Oliv tinggal. Si Linda kan ketua tingkat Nanti gue kasih kabar lagi secepatnya lewat sms, gimana bro?" jawab Hendrik sambil tersenyum.
"Oke, thanks banget ya bro. Gue nggak tahu kudu minta tolong siapa lagi disini selain elu. Cepat kabarin gue ya?" Matahari pun tenggelam dengan sempurna. Sebuah pemandangan yang indah. Seindah senyuman laki laki tangguh itu yang kini terlihat mulai bisa tenang namun tetap menggantungkan sebuah harapan.
***
Keesokan harinya, Hendrik pun segera menanyakan alamat rumah Liv pada ketua tingkat di kampusnya. Linda. Setelah mendapat alamat itu, dia kemudian mengirim sms pada Riki. Tanpa menunggu keesokan harinya, Riki segera mencari alamat tersebut, malam itu juga.
Jam 7 malam Riki sudah tiba di depan sebuah rumah sederhana Liv. Rumah bercat warna jingga favoritnya dengan banyak pot bunga menghiasi pekarangan rumah itu. Riki pun segera turun dari motornya dan mengetuk pintunya.
"Permisi, " tak ada sahutan. Tak lama kemudian pintu kayu itu dibuka oleh seorang anak kecil yang kira kira berusia 12 tahun.
"Siapa ya? jawab seseorang dari dalam rumah. Ketika pintu dibuka,  dan terlihat sosok laki laki seumuran kakaknya, dia langsung menjawab dengan tebakan anak kecil yang polos. 
"Apa mau mencari mbak oliv?" kata anak kecil itu yang tidak lain adalah adik tiri Liv. Sambil mengunyah permen karet dia mengamati Riki dari ujung kepala sampai ke ujung kaki dengan tatapan heran.
"Iya, mbak olivnya ada?" kata Riki sambil mengikuti gaya bicara anak kecil itu. Dalam hati dia merasa geli dengan kata "Mbak" yang terdengar asing ditelinganya. Juga karena sudah 2 orang yang memanggil Liv dengan panggilan Oliv, yaitu teman nya si Hendrik dan adik Liv sendiri.
"Mbak Oliv sakit. Dia nggak bisa melihat. Dikamar terus nggak mau keluar. Nggak mau makan. Nangis aja kerjaannya. Silahkan masuk. Ngomong sama ibu aja dulu" kata adik Liv sambil menggandeng Riki masuk dan mempersilahkannya duduk. Rumah Liv terlihat begitu sederhana. Hanya ada beberapa perabotan rumah yang memang dibutuhkan untuk hidup keluarga kecil itu. Tiba tiba pandangan Riki berhenti pada sebuah foto yang tergantung di tembok warna kuning itu. Foto Liv dengan seorang gadis berjilbab dan berlatar belakang sebuah pemandangan taman wisata yang terkenal di kota Batu Malang. Dibawah foto itu tertulis "Teman Selamanya". Terlihat mereka berdua tersenyum lepas tanpa beban. Senyum persahabatan.
"Mungkin gadis ini yang bernama Isna" batin Riki sambil tersenyum namun dengan tatapan sayu mengingat apa yang terjadi pada dua sahabat itu. Tak beberapa lama sosok ibu Liv keluar dan sedikit membuat dia terkejut.
"Dengan siapa ya ini?" kata ibu Liv sambil mengulurkan tangannya dan tersenyum hangat. Namun wajah itu tak mampu menyembunyikan kesedihannya.
"Saya Riki, temannya Liv. Bisa saya bertemu dengan Liv dan mengajak dia keluar sebentar? Saya sudah tahu bagaimana keadaanya dia sekarang, tante. Saya hanya ingin berbicara dengan dia. Tak akan lama. Saya janji." kata Riki sambil setengah memohon. Mendengar hal itu ibu Liv diam saja.  Tak ada jawaban. Dia memandangi Riki dengan tatapan sayu. Entah kenapa dia bisa mempercayakan anaknya pada orang yang berada didepannya itu padahal mereka baru saja bertemu.
"Temui Liv sendiri. Tante mengijinkan kok, nak Riki." kata sang ibu kemudian berdiri dan berjalan menuju kamar Liv dan Riki mengikutinya dari belakang.
Suasana kamar yang hangat. Dindingnya berwarna cokelat dengan tirai yang terbuat dari batu kerang kecil kecil dan berhiaskan banyak sekali foto tertempel didindingnya. mulai dari foto foto Liv sendiri, foto dia bersama teman temannya, juga foto band band idolanya Mata Riki pun menjelajahi kamar itu dengan kagum. Melangkah dengan perlahan dan kemudian menemukan sosok yang dia cari meringkuk disamping tempat tidur. Duduk dilantai dengan posisi kaki ditekuk. Rambutnya begitu acak acakan. Ada makanan disampingnya terlihat belum disentuh sama sekali. Handphone yang tergeletak dan sebuah buku yang terlihat seperti buku harian. Karna ingin memastikan lebih dekat, Riki pun maju satu langkah lagi namun kakinya tak sengaja menginjak sebuah pulpen dan membuat Liv terkejut.
"Siapa itu?" refleks berkata itu Liv memundurkan badannya merapat ke arah tembok. Dia berusaha mencari tahu siapa yang datang lewat pendengarannya.

"Liv, ini aku, Riki."
***
Sebuah taman tengah kota malam itu sedikit ramai. Penjual makanan, anak anak dan muda mudi yang sedang  menikmati suasana Malang pada malam hari menjadi latar belakang sosok 2 orang itu yang sedang duduk di bangku panjang menghadap jalan raya. Mereka saling menutup mulut. Hanya sesekali terdengar tarikan nafas berat mereka.
"Kau kedinginan? Apa mau aku pakaikan jaket ku ini?" kata Riki sambil melepas jaketnya kemudian memakaikannya pada Liv. Gadis itu masih diam saja.
"Riki.. Apakah malam ini banyak bintang di atas sana?" Liv pun mulai membuka mulut. Dia mendongak keatas. Tak ada yang berubah. Masih tetap gelap.
"Umm, tidak banyak. Hari ini sedikit mendung liv. Bulannya juga masih bersembunyi. Dia malu karena ada yang lebih cantik dari dia malam ini" jawab Riki sambil sedikit tersenyum. Dalam hati dia merasa senang karena akhirnya Liv pun berani membuka percakapan.
"Ingat tidak ketika kita melihat bintang bersama meski di tempat yg berbeda?" tanya Liv tiba tiba. Sebuah senyuman tersungging di bibir tipisnya. Manis sekali.
"Ingat donk. Waktu itu kamu marah sama aku gara gara aku salah lihat arahnya, hehehe" jawab Riki sambil tertawa. Suasana mencair dengan sempurna. "Terima kasih Tuhan" batinnya dalam hati. 
"Aku gak akan pernah lupa sama kejadian itu, putri tidur" lanjut riki. Kemudian mereka berdua terdiam sesaat. Membiarkan ingatan ingatan itu menjelajahi fikiran mereka, lagi.
"Dan juga, apa kau masih ingat ketika kita bertemu pertama kali? Jangan bilang kau lupa  bagian itu, kepala kentang" lanjut Liv lagi sambil sedikit manyun. Namun setelah itu dia tertawa kecil sehingga membuat Riki sangat bahagia.
"Hahaha, iya, aku masih ingat kok. Aku gak pernah berhenti mengamatimu, dan ketika kamu tahu aku mengamatimu, kau memukulku dengan manja, dan berkata, "Hentikan, aku malu" ya kan?" jawab Riki sambil tersenyum. Kenangan itu kini menguasai fikiran mereka dengan bebas. Kemudian Liv menunduk. Haru. 
"Iya Rik, aku ingat jelas peristiwa itu. Mmm, apakah sampai sekarang kau masih melakukan hal itu? maksudku, mengamatiku lagi?". Mendengar itu, Riki menoleh kearah Liv. Mengamatinya lagi. Tampak jelas perubahan gadis itu. Namun sinar matanya tetap tidak pernah berubah. Riki pun menjawab pelan pertanyaan Liv sambil mengusap pipi gadis itu.
"Aku tidak akan berhenti melakukan itu meskipun kau berkata Hentikan, Liv"
Ada haru ketika dia mendengar hal itu. Dadanya sesak. Ingin sekali dia bisa melihat bagaimana ekspresi laki laki itu ketika dia mengusap pipinya, untuk kedua kalinya. Namun sia sia. Riki yang mengetahui hal itu, mengusap pipinya sekali lagi. Mengusap sudut matanya sambil berbisik lirih "Jangan menangis putri tidur"
"Seperti apa dunia yang kini kau lihat sekarang Riki? Apa masih tetap seindah saat aku juga masih bisa melihat dulu? Ataukah semakin menjadi indah seolah menghina aku yang tidak bisa melihat seperti saat ini?" tanya Liv sambil menyandarkan kepalanya pada Riki. Semuanya berat. Untuk sekali saja dia ingin ada yang menopang beban itu. Dia ingin sedikit merasa ringan. Dia lelah.
"Dunia ini masih sangat indah, ketika orang terindah itu bahagia, tersenyum, ceria, dan tak pernah putus asa menghadapi takdirnya, Tapi adakalanya dunia ini menjadi buruk, menyedihkan. Yaitu ketika orang terindah itu bersedih, menangis, dan merasa bahwa dirinya hidup dalam keadaan yang buruk. Jangan pernah bersedih agar dunia ini tetap indah bagi semua orang. Jangan pernah takut menghadapi semuanya sendiri. Aku disini. Tanpa kau minta pun aku selalu bersedia menjadi mata mu. Akan aku ceritakan semua yang aku lihat agar kau tak pernah merasa kehilangan penglihatanmu.." jawab Riki sambil mengenggam erat tangan Liv. Mencoba menghangatkan suasana malam itu. Meski pada akhirnya mereka berpisah. Tak ada perlawanan dari Liv. Dia rindu suasana itu. Dia rindu semuanya ketika mereka bersama.
"Aku akan kembali ke Kalimantan Liv. Maaf aku meninggalkanmu lagi. Tunggu, jangan marah, kau harus mengerti. Aku pergi bukan untuk menjauhimu karena tahu keadaanmu. Hanya sementara. Aku akan kembali menemuimu. Kau harus bertahan buat aku." kata Riki sambil menepuk pelan bahu Liv. Mendengar itu ada sedikit kekecawaan tersirat di wajah sayu Liv. Namun dia tetap memilih diam.
"Pergilah Rik. Kejar impianmu. Lakukan tugasmu. Jadilah laki laki yang tangguh." kata Liv kemudian beranjak berdiri.
"Antar aku pulang Rik" kata Liv pada Riki. Kemudian mereka kembali pulang. Selepas itu ada sedikit perasaan tidak enak yang membayangi Riki sepanjang malam itu. Namun dia harus pergi. Sementara itu di sudut lain, terlihat Liv berbaring di tempat tidurnya sambil memandangi langit langit kamarnya. "Dia akan pergi. Dia akan sukses. Harus itu. Dan aku akan mati. Tak lama lagi.."
*** 
"Bagaimana keadaan kamu nak?," sapa hangat sang ibu kepada Liv yang terlihat sayu di pojok tempat tidurnya. Liv yang sedang tertunduk lesu mencoba mengangkat sedikit kepalanya.
"Entahlah bu. Aku lelah. Aku ingin mengakhiri semuanyaa" jawab Liv sambil bersandar pada Ibunya. Kali ini dia tidak menangis. Namun dari wajahnya dia terlihat datar.
"Jangan berkata seperti itu Liv. Jangan tinggalkan Ibu. Tapi Ibu juga tidak tahu harus bagaimana lagi sekarang.."
"Liv nggak pernah menyalahkan Ibu, justru Liv sedih karena Liv semakin membebani Ibu dengan penyakit ini.." Jawab Liv sambil mengusap lembut pipi sang Ibu. Tak lama kemudian handphone Liv berbunyi. Kemudian mengangkat teleponnya.
"Halo?"
"Halo, benar ini dengan Olivia?" suara dari seberang telepon. Liv yang mendengar hal itu sedikit menaikkan alisnya.
"Ya, dengan siapa ini?" jawab liv sedikit pelan.
"Ternyata benar. Syukurlah. Hai, apa kau masih mengenal aku? Ari, laki laki yang mengantarmu pulang dari toko kaset 4 bulan yang lalu" suara dari seberang sana terlihat bersemangat sekali.
"Oh yaa, aku ingat, hei bukankah aku tidak pernah memberikanmu nomor handphone ku?" tanya Liv heran.
"Mmm, aku mencari tahu informasi tentang dirimu. Bagaimana keadaanmu?" Suara laki laki tersebut terdengar dipelankan. Namun tak ada jawaban langsung dari Liv.
"Aku, baik baik saja Ari" bohong liv dengan setengah menunduk. Pembicaraan hangat itu berakhir dengan kabar baik. Tak ada yang harus disembunyikan pada laki laki sebaik Ari, pikir Liv. Dan akhirnya laki laki yang bernama Ari dia akan menjadi mata Liv selama Riki tak ada.
***
Tanpa terasa waktu berjalan sudah satu tahun. Mereka berdua sudah terlihat sangat akrab, ya tentu saja, Liv dan Ari.  Setiap hari selepas senja, Ari menyempatkan dirinya untuk berkunjung ke rumah Liv. Membawakan apapun. Terkadang makanan, boneka, maupun cerita cerita tentang dunia luar. Ari sekarang pun tahu tentang apa saja kesukaan dan yang tidak Liv sukai. Semua itu membuat Liv lupa dengan matanya. Dia tak secengeng dulu. Dia  sudah bisa menerima takdirnya kehilangan penglihatannya. Sampai pada akhirnya dia harus menerima satu kenyataan pahit, lagi.
"Mau sampai kapan kau menemani gadis buta itu dan melupakan rencana pernikahan kita?" suara itu membangunkan lamunan Ari. Dia menoleh kebelakang.
"Dara? Sejak kapan kau disini? Sudah aku bilang jangan masuk kamarku  dengan seenaknya" bentak Ari kemudian turun dari ranjangnya. Menyeret tangan wanita yang bernama Dara itu dengan sedikit kasar.
"Lepaskan! Kau terlalu sibuk memikirkan gadis itu sampai tak tahu kedatanganku. Ayo kita kembali ke lampung dan melaksanakan pernikahan kita disana." jawab Dara sambil menatap lurus kearah Ari. Ari memperhatikan wanita yang berdiri didepannya itu dengan seksama. Tak ada yang berubah. Wajah tegasnya dan pakaian yang ia pakai. Minim.
"Aku masih ada urusan disini. Dan bukankah aku belum pernah berkata aku setuju dengan pernikahan kita?"
"Oh ya? Urusan apa? Menemani gadis buta itu? Dan sekarang kau benar benar menjadi buta juga. Jelas jelas didepanmu ini ada wanita yang lebih sempurna dibandingkan gadis  buta yang miskin itu kau malah memilih dia? Ari, aku sudah tahu semuanya. Kegiatanmu bersama gadis itu pun aku sudah tahu. Jangan bilang kau lupa siapa aku? Siapa Dara?"
"Hentikan Dara. Kau tak berhak menghujatnya seperti itu. Ocehan panjangmu membuatku muak. Kau tak pernah berubah"
"Tinggalkan gadis itu dan nikahi aku secepatnya. Ingat Ari. Keluargamu punya hutang budi pada keluargaku. Ku rasa aku tak perlu mengingatkan itu lagi.." jawab Dara sambil berlalu meninggalkan Ari sendiri yang bersandar pada pintu kamarnya. Dia terlihat bingung.

"Haruskah aku berkata sejujurnya pada Liv?"
***
"Liv" sapa Ari kemudian duduk disebelah Liv. Sore itu mereka berdua berada di teras gereja seusai pemujaan. Menunggu hujan reda.
"Iya Ari. Ada apa?" Jawab Liv sambil meluruskan kakinya. Dia mencoba menoleh kearah suara Ari berasal. Ari memandang wajahnya yang polos. Terbesit rasa bersalah yang sangat mendalam.
"Aku.. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu.. Aku akan kembali ke lampung"
Sebelum Ari selesai melanjutkan pembicaraannya, dari ujung jalan terlihat sosok wanita dengan pakaian mencolok yang berjalan cepat menuju kearah mereka. Dara.
"Oh, jadi ini gadis buta yang perlu dikasihani?! Iya, kelihatan dari penampilannya" Dara menarik Liv untuk berdiri, sementara Liv yang tak tahu apa apa hanya berdiri ketakutan dan berbisik lirih.
"Kamu .. Siapa?"
"Hentikan Dara. Kau seperti anak kecil. Harusnya kau biarkan aku menyelesaikan semuanya sendiri, bukan seperti ini. Liv, maafkan dia ya?" kata Ari dengan ekspresi sedih sambil menarik Liv ke arahnya. Namun tangan itu dengan mudah dicengkeram oleh Dara.
"Gue Dara, Calon istrinya Ari. Dan kami akan menikah bulan depan. Gue minta elu jauhin calon suami gue. " kata kata terakhir Dara membuat Liv meneteskan air matanya untuk yang pertama kalinya lagi. Dadanya sakit. "Ucapan wanita itu, benarkah? Mengapa Ari tidak bilang dia akan menikah? Mengapa sejauh ini Ari sangat baik padaku dan aku .. Aku jatuh cinta padanya.. Aku sungguh bodoh.." Batin Liv dalam hati. Dia berusaha menahan tangisnya.
Sunyi. Tak ada suara lagi. Mereka telah pergi. Hanya suara kecil hujan yang turun semakin deras. Meninggalkan bekas luka mendalam dihati Liv.
"Rasanya sakit.. Aku sudah tak kuat lagi.. Kenapa semua ini harus terjadi padaku.." Tangannya menggenggam erat rosario yang ada disakunya. Rosario pemberian Riki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar